Mohon tunggu...
Kinanthi
Kinanthi Mohon Tunggu... Guru - foto

Seseorang yang meluangkan waktu untuk menulis sekadar menuangkan hobi dengan harapan semoga bermanfaat.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Laku tanpa Kata

22 September 2020   12:04 Diperbarui: 22 September 2020   12:13 100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Acapkali, noni Belanda kekasihnya datang menemuinya ke kampung halamannya. Mereka melepas rindu dengan berdansa berdua, hanya itu yang mereka lakukan. Ia tetap tidak sanggup melanggar saran ibunya untuk menikah dengan wanita pilihannya, seorang janda pribumi yang cantik dan terlihat sangat menyayangi ibu mertuanya.

Manakala harapannya untuk bisa bekerja di kota pupus dan pupus pula harapannya untuk dapat selalu bertemu dengan kekasihnya, noni Belanda, yang tidak direstui ibunya, sesuai dengan pendapat ibunya, di desa ia segera mendapat pekerjaan. Selain bertani dari sawah warisan isterinya yang lumayan luas, ia pun terpilih sebagai sekretaris desa.

Kehidupan sebagai orang desa pun dijalaninya walaupun lahir dan melewatkan masa muda di kota Surabaya, demi kepatuhannya pada ibunya. Ia pun menjalani hari-harinya sebagai warga desa seolah tanpa keluhan. Pernikahannya dengan sang janda yang tidak kunjung menghadirkan anak-anak sebagai buah hati pun tidak ditindaklanjuti dengan perilaku neko-neko. Ibunya tentu bukan sekadar memintanya untuk tidak menikahi noni Belanda. Ibunya yang gemar tirakat, menjalani lelaku puasa mutih, dan sebagainya begitu tidak lagi tinggal di kota, tentu menasihatinya agar tetap setia kepada isteri, apapun terjadi. Nasihat yang lagi-lagi dipatuhinya walaupun mereka melewatkan masa muda di kota.

Tatkala mendapati anak-anak perempuan yatim piatu pascaperang, mereka pun diajak pulang dan diakui sebagai anak angkat. Demikian pula tatkala mendapati anak-anak yatim. Mereka pun, dirinya dan isterinya, tidak keberatan mengisi rumah mereka dengan anak-anak yatim piatu. Anak yatim, maupun anak piatu.

Anak-anak yatim piatu, anak yatim, anak piatu telah  menjadi perhiasan rumah mereka dan disayangi sebagai anak sendiri, sehingga ia menemui keponakannya yang sulung, anak kakak perempuannya, agar tidak meminta hartanya. "Ibumu telah menyekolahkan kalian sampai berhasil menjadi pegawai negeri. Maka, saya harap Kamu bisa mengerti bahwa hartaku kugunakan untuk menyekolahkan anak-anak angkatku, selain kuberikan pula kepada mereka kelak. Seperti dirinya, keponakannya pun mengangguk patuh. Bahkan, keponakannya tersebut menceritakan kembali yang diucapkan sang paman, ia memanggilnya Oom, kepada anak sulungnya. Seperti bapaknya, anak sulungnya pun hanya mengangguk tanpa berkomentar apa pun, karena ia pun sejak muda sudah bekerja.

"Mbah! Aneh Mbah! Saat makam mbah carik digali, jasatnya utuh. Benar-benar utuh, kain kafannya masih rapi membungkus tubuhnya yang juga utuh, Mbah!" seorang anak muda yang ikut menggali kubur, berlari menuju rumah isterinya. Sang isteri memang masih hidup sekitar dua puluh tahun kemudian sepeninggalnya, walaupun usia mereka bisa jadi sebaya, atau bisa jadi isterinya lebih tua. Tak ada yang tahu karena tak ada yang bertanya akan hal itu sampai keduanya meninggal.

Ketika ia meninggal, tak ada apapun yang ditinggal selain buku. Cucunya, anak sulung keponakannya, sepulang kuliah menangis bukan karena merasa dekat dengan kakeknya, adik neneknya itu, karena sejak remaja ia sudah kos di kota. Si cucu menangis karena satu-satunya peninggalan kakeknya, berupa buku-buku selemari, telah dibuang , diloakkan, atau bahkan dibakar tanpa menunggunya pulang dari tempat kos. Ia memang tidak pernah meminta, tapi dalam hati pernah berharap kelak buku-buku itulah yang akan diberikan kepadanya sebagai warisan. "Semoga diloakkan, sehingga masih ada yang membaca," protesnya kepada bapaknya mengapa tidak meminta buku-buku tersebut. Bapaknya lalai karena sudah pernah membaca semuanya, tapi ia masih membaca sedikit. Itulah kedukaan yang menggurat, yang dirasakannya sepeninggal kakek, adik neneknya.

Maka, ia pun tak kalah terkejut mendengar teriakan penggali kubur tersebut, kebetulan saat itu ia tengah bertandang ke rumah neneknya itu, isteri kakek, adik neneknya.

"Mengapa jasadnya utuh? Apakah jasad suamiku tidak diterima bumi?" isterinya pun menangis.

Orang-orang yang keheranan akan peristiwa unik tersebut pun menyampaikan berbagai komentar. Mungkin karena kasih sayangnya kepada anak-anak yatim piatu, anak yatim, dan anak piatu. Mungkin kesederhanaan gaya hidupnya walaupun lahir dan melewatkan masa muda di kota. Mungkin kepatuhannya kepada ibunya. Mungkin ucapannya selalu sesuai dengan perkataannya.

"Tapi, kakek tidak pernah berkhotbah, tidak pernah berceramah. Tak pernah tampil seperti mereka. Kok bisa?" ada juga celetukan itu. Isterinya yang semula menangis pun diam saja mendengar aneka komentar keheranan orang-orang yang ikut menggali kubur.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun