Betapa banyak orang yang berkeinginan menduduki pekerjaan itu. Pekerjaan yang memberi gaji pada awal bulan, bukan sekadar sebelum kering keringatnya, tapi keringat sebutir pun belum meluncur, gaji sudah mengucur. Oh senangnya, walaupun dibayar tidak seberapa. Akan tetapi, baginya itu tidak sebanding dengan kedisiplinan yang dijalani oleh keluarganya demi konsekuensi dari sebuah keputusan.Â
Sesungguhnya yang memberatkannya bukan kedisiplinan melainkan tuntutan akan keteladanan. Sebagai priyayi yang berarti pegawai negeri atau sebagai pegawai negeri yang berarti priyayi, keteladanan yang ditanamkan kakek neneknya berlanjut kepada  kedua orangtuanya, baginya terasakan sebagai tuntutan yang sangat berat.
Tuntutan memberikan keteladanan dari cara makan, cara bertegur sapa, Â cara bersikap dalam pergaulan dalam pekerjaan maupun kepada masyarakat sekitar, membuatnya seakan tak sanggup, membuatnya seakan trauma jika mendengar istilah pegawai negeri mampir ke telinganya.Â
Parahnya, sebagai gadis yang terlahir dari keluarga pegawai negeri, para pegawai negeri itu seolah sedemikian mudah pula mengenalnya dan mendekatinya.Â
Anehnya, semakin mereka mendekatinya, semakin ia dicekam kecemasan yang luar biasa. Kecemasan akan tuntutan untuk memberikan keteladanan sebagai ibu maupun sebagai istri pegawai negeri dalam menjalani kehidupan bermasyarakat. Tuntutan yang dirasanya tidak akan sanggup dijalaninya dengan sempurna.
Maka, ia mengingini terlepas dari belenggu itu. Â Kalaupun wanita harus bersuami, ia tidak ingin dilibatkan terlalu jauh dengan pekerjaan suaminya. Ia belum tertarik dengan kesibukan para isteri yang tampil ke sana ke mari karena tuntutan profesi suami. Maka, satu-satunya lelaki yang dijatuhi pilihan adalah lelaki yang baginya paling bebas.Â
Lelaki yang datang tanpa anak kendati statusnya belum jelas, jejaka atau duda, serta memiliki kesibukan sebagai wiraswastawan yang tak akan banyak menyita waktunya sebagai isteri.Â
Baginya, waktunya sudah terserap untuk tuntutan pemenuhan hobinya yang tidak hanya satu, walaupun hobinya itu belum tentu sanggup memberinya tambahan uang saku, tapi ia merasa waktunya menjadi seru.
"Salahkah aku? Bukannya memang pekerjaan kakakmu tidak harus menuntutku menjadi nyonya pegawai negeri seperti ibuku? Â Yang harus sering tampil menemani bapak?"
"Tidak salah, hanya tidak umum,"jawabnya singkat sambil menunduk, mengaiskan kakinya ke rerumputan yang menebal segar setelah hujan turun beberapa hari.
"Memang tidak umum jika menikah dengan seseorang yang berwiraswasta?" kilahnya keheranan.