Mohon tunggu...
Kinanthi
Kinanthi Mohon Tunggu... Guru - foto

Seseorang yang meluangkan waktu untuk menulis sekadar menuangkan hobi dengan harapan semoga bermanfaat.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Dalam Selubung Kabut (5)

8 Juli 2020   09:34 Diperbarui: 8 Juli 2020   09:37 107
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ia masih termangu sambil menatap keluar jendela. Awan putih berarak dalam aneka bentuk berlatar warna langit  biru jernih. Kenangan masa kecil kembali melintas. Saat itu ia sedang sendiri di halaman. Tatkala menengadah ke atas, awan yang berjalan kencang seolah saling berlomba dalam warna abu-abu dan putih, membuatnya berlari masuk rumah dengan ketakutan. Bencana apakah yang akan terjadi? Pertanyaan yang tak terjawab karena ibunya masih bepergian, sedangkan ayahnya jarang pulang.

Kata "bencana" membuatnya kembali teringat akan sesuatu yang dipikirkan sebelumnya mengenai pembalasan.

Bencana yang menimpa si anak, bukankah akan terasakan lebih parah bagi orang tuanya? Toh ia juga harus membiayai atau menanggung malu akibat ulah si anak. Belum tentu si anak merasakan sakit akibat ulahnya, tapi orangtuanyalah yang menanggung malu luar biasa dari akibat yang dialami si anak. Hidup kan bukan matematika. Ada kata bermakna kias dan lugas. 

Ada bencana melalui anaknya yang akan ditanggung deritanya oleh orangtuanya. Ada pula derita yang ditanggung sendiri oleh orangtuanya tanpa melibatkan anaknya. Bagaimanapun, yang dimiliki orang tua bisa dianggap milik anak, sedangkan milik anak adalah miliknya sendiri. Derita orangtua biasanya dirasakan sendiri, tetapi derita anak akan ditanggung juga sakitnya oleh orangtua, kan?

Lagi-lagi ia menghela napas. Maka, dengan cekatan, dihapusnya aneka dendam yang menjejali kepalanya karena ia tidak pernah kuat menerima hantaman perasaan bersalah tidak memaafkan si zalim jika si zalim tersebut benar-benar menerima bencana.

Kalaupun si zalim akhirnya menerima bencana juga, biarlah itu akibat akumulasi amarah semua orang yang pernah dizaliminya. Atau...biarlah filter dalam dirinya yang bekerja. Ibarat ular yang terinjak ekornya, biarlah filter itu yang memburu dan menggigit penyebab kesakitannya, tanpa diperintah olehnya. Ia sungguh tidak tega. Walaupun derita, bencana, kepedihan, adalah bagian dari perjalanan hidup manusia di samping aneka kesenangan dan kepuasan yang juga pasti diterimanya.

Maka, ia lanjutkan lagi bergolek bermasalan di depan TV dengan tubuh lunglai seolah tanpa tenaga. Akan tetapi, begitu suaminya terlihat membuka laptop melanjutkan pekerjaannya yang tertunda di kantornya, ia pun terpengaruh untuk melanjutkan pekerjaannya pula. Pekerjaan yang juga tiada hentinya jika dipatuhi. Seolah tak ada celah untuk beristirahat karena segala perencanaan, segala pelaksanaan, dan segala penilaian, semua terbebankan kepadanya.

Suaminya mencintainya dengan sepenuh hati. Selain kecantikannya yang diwarisi dari ibunya ditambah daya tarik ayahnya, ia pun selalu tampil sederhana. Kesederhanaan yang tetap dilakoninya sampai sekarang walaupun kondisi ekonomi keduanya sudah lebih baik daripada awal-awal menikah. Seringkali suaminya menggeleng-gelengkan kepala penuh iba. 

Bayangkan, dua almari penuh pakaian istrinya, belum lagi tas dan sepatunya yang juga memenuhi wadahnya masing-masing. Akan tetapi, tak satupun yang terlihat bermerk. Semua baju, sepatu, maupun tas yang dimiliki isterinya, semua dibeli ketika ia sedang menginginkan dan membutuhkan. Adakalanya dibeli karena ada diskon, kadang dibelinya ketika ia ke pasar, dan yang sering malah dibelinya di kaki lima.

Kesederhanaan yang acapkali dimaknai sebagai sifat pelit oleh kakaknya, terlebih saat sang kakak tak mudah memperoleh kucuran dana pinjaman uang darinya. Untuk hal ini, ia juga sangat disiplin dan tergolong pelit sesuai dengan gelar yang dibebankan kakaknya kepadanya.

"Jika ingin punya modal, kenapa harus pinjam?"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun