Mohon tunggu...
Kinanthi
Kinanthi Mohon Tunggu... Guru - foto

Seseorang yang meluangkan waktu untuk menulis sekadar menuangkan hobi dengan harapan semoga bermanfaat.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Dalam Selubung Kabut (3)

6 Juli 2020   08:11 Diperbarui: 6 Juli 2020   08:18 71
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Hmm...genangan air sudah mulai bermunculan di sana-sini, gumamnya sambil membelai dedaunan yang tampak segar tersiram air hujan. Tiba- tiba seekor katak pohon meluncur turun hampir menerpa wajahnya pada sore yang mulai temaram itu. Ia terkejut. Badannya spontan menjauh dan kakinya pun melompat. Parahnya, kaki itu malah terperosok ke dalam parit kecil. Lompatan yang hampir mmebuatnya  jatuh terduduk kalau saja tidak segera berpegangan pada pohon mangga yang sedang berbuah lebat. Masih setengah terhuyung ia mencoba berdiri tegak sambil mengaduh karena ibu jari kakinya menyenggol batu hiasan taman yang berbentuk runcing.

Sambil memijit jempol kakinya yang kesakitan, ia pun duduk di bangku taman. Matanya mencari-cari katak pohon yang baru saja meluncur menggodanya. Andaikan reinkarnasi memang ada, apakah hanya makhluk tak hidup sejenis langit, gunung, planet, debu, dan bebatuan  saja yang menolak amanat untuk menjadi manusia? Sedangkan seluruh makhluk hidup penghuni rimba sekaligus tumbuh-tumbuhan ini, ingin jugakah berbondong-bondong menerima amanat untuk menjadi manusia? Hmmm...jika katak pohon tadi terkabulkan keinginannya menjadi manusia, karakter bagaimanakah yang akan ditampilkannya? Ia pun beranjak masuk ke dalam rumah sambil bergidik ngeri membayangkan andaikan katak pohon tadi meluncur dan menempel di wajahnya.

Azan magrib pun menggema. Ia bergegas mengambil air wudu. Konsentrasinya terbelah karena di TV ia mendengar kurikulum 2013 sedang gencar-gencarnya menerapkan pendidikan karakter demi masa depan generasi penerus menapaki abad ke-21. Kata karakter membuatnya terkenang akan ulah katak pohon yang meluncur membuatnya terkejut sampai kakinya terantuk batu. Bukan hanya katak pohon, seekor ular pun pernah meluncur dari pohon belimbing di taman depan rumahnya.

 Ular. Konon binatang tersebut pernah didengarnya sebagai binatang yang belum mengenal balas budi karena kerap menggigit tuannya hingga binasa, belum lagi ular-ular pyton yang menelan manusia. Walaupun ada pula pakar binatang yang menganggap tahu tidaknya si ular membalas budi, bergantung pula pada bagaimana cara-cara tuannya dalam memperlakukannya. Lagi-lagi ia membayangkan, andaikan reinkarnasi memang ada, lalu ular-ular itu pun memohon agar diberi amanat menjadi manusia, karakter bagaimanakah yang bakal ditampilkannya?

Karakter aji mumpung? Mumpung diterima dengan baik, diperlakukan dengan baik, bukan malah bersyukur, tapi malah mengatur rencana bagaimana caranya agar kelak pada suatu masa, dapat menggigit bahkan menelan tubuh tuannya? Tuan yang telah memberinya makan? Ah...lagi-lagi ia bergidik penuh kengerian membayangkannya. Amarah yang pernah disemburkan kakak iparnya kepada saudara lelakinya. Saudara satu-satunya pula.

Kakak lelakinya pun sama saja dengannya dalam menyimpan dendam. Dendam kejengkelan kepada ibunya pun seolah membuncah tumpah ruah. Jika anak-anak lelaki sebelum menikah akan memberikan uang hasil kerja kepada ibunya untuk ditabungkan, tidak demikian dengan ulah kakaknya itu. Ia malah memberikan kesan sangat pelit dan perhitungan kepada ibunya jika sudah berurusan dengan uang. Ia selalu menyimpan kesan bahwa ibunya tidak akan bisa memahami makna kasih sayang. Yang dipahaminya hanyalah uang dan uang serta bagaimana cara mendapatkannya beserta cara menghabiskannya seketika.

 Kalaupun hari ini ia memberi uang kepada ibunya sejumlah sejuta dari hasilnya menabung selama dua bulan demi sebuah keinginan membahagiakan ibunya, belum tentu hal itu akan ditanggapi baik olehnya. Sang ibu tentu akan beranggapan bahwa si anak telah sanggup memberinya uang untuk bulan ini. Itu berarti, bulan depan dan bulan depan berikutnya lagi, si anak pasti akan memberinya uang pula secara teratur. Harapan yang tertanam tanpa sedikit pun mau mengerti kondisi keuangan anaknya. Harapan yang bagi si kakak terlalu tinggi mengingat ibunya tidak berkorban sungguh-sungguh untuk menyekolahkannya. Ibunya lebih suka mengeluarkan uang untuk aktivitas kelompok sosialitanya daripada mengeluarkan uang untuk biaya sekolah dan kuliah anak-anaknya.

Dendam itu serasa membara dan membakar. Dendam yang menimbulkan bara api yang tak segera padam. Bara yang seolah hilang tertimbun sekam, tapi merah membara di dasarnya. Dendam yang membuatnya tak mudah mencintai perempuan. Dendam yang membuatnya tak sanggup memahami suara nuraninya manakala ia berani memutuskan menikah. Suara nurani yang mengingatkan bahwa ia sesungguhnya tidak mencintai wanita yang akan dinikahinya itu.

Yang ia tahu, si wanita adalah putri seorang konglomerat. Sebagai menantu, terlebih sebagai lelaki yang merasa mewarisi darah bisnis ayahnya, si wanita dalam pandangan matanya hanyalah anak seorang konglomerat yang berarti memiliki uang berlebih. Uang yang dapat dipinjam bahkan diminta demi memenuhi ambisi untuk meraih kesuksesan seperti yang pernah dialami ayahnya. Ambisi yang akan diraihnya dengan cara berharap banyak terhadap kucuran modal dari sang mertua.

Bahwa istrinya sesungguhnya seorang atlet renang, pengajar senam, dan pemilik salon kecantikan yang tentunya kesibukannya itu dapat dibanggakan, serta sanggup menarik perhatian para lelaki lainnya, baginya itu bukan hal penting yang masuk perhitungannya. Yang lebih penting adalah bagaimana dan kapan dapat mencari kesempatan untuk dapat memanfaatkan seluruh harta isteri bahkan mertuanya demi ambisinya. Sebuah ambisi meneruskan kesuksesan ayahnya sekaligus untuk memenuhi keinginannya dalam berburu kesenangan hidup. Impian yang dianggapnya bakal dengan mudah diraih dari modal isteri dan mertuanya.

Ambisi yang tertanam kuat dan seolah tak akan dilepaskannya begitu pesta pernikahan usai. Kekaguman akan kesuksesan ayahnya dalam berbisnis sekaligus kesanggupannya memelihara sekian wanita dari hasil bisnisnya, sungguh merupakan angan indah yang ingin segera dipetiknya. Hm...kembali menjadi konglomerat disertai beberapa dayang-dayang wanita yang cantik-cantik, dari modal kerja keras mertua dan isteri? Hm...betapa tampannya aku jika kelak impianku berhasil. Ia mulai narsis sambil memandangi wajah dan tubuhnya di cemin. Wajah yang juga mewarisi kecantikan ibunya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun