Pada ulang tahun ke-19, saya memiliki satu keinginan---mendaki Bukit Nanggi. Sahabat saya, Irwan, yang juga berulang tahun di bulan yang sama hanya selisih satu hari, berjanji akan mewujudkan keinginan itu. Kami sepakat menjadikan pendakian ini sebagai hadiah ulang tahun kami dan mulai merencanakannya sejak beberapa bulan sebelumnya.
Saat itu, saya masih di Jakarta. Tanpa memberi tahu keluarga, saya diam-diam pulang ke Lombok, hanya Irwan yang tahu rencana ini. Ia pun menjemput saya di bandara, menandai awal petualangan yang sudah lama kami nantikan.
Bukit Nanggi adalah salah satu bukit tertinggi di Pulau Lombok dengan ketinggian 2.300 mdpl. Keindahannya yang luar biasa membuat banyak orang menjulukinya sebagai "negeri di atas awan" dan menarik perhatian para pendaki, termasuk saya dan teman-teman. Namun, di balik pesonanya, Bukit Nanggi memiliki jalur pendakian yang cukup ekstrem dan panjang, bagi saya yang baru pertama kali mendaki. Tantangan ini membuat perjalanan semakin berkesan dan penuh pengalaman baru.
Perjalanan Dimulai
Tepat pada 11 Desember 2019, saya menjalani pendakian pertama bersama Irwan, Najwa dan Ayu (adik saya), dan lima teman lainnya. Kami berangkat dari rumah pukul 13.00 dan tiba di pos pendakian sekitar pukul 15.00. Setelah dua jam perjalanan dengan sepeda motor, kami beristirahat sejenak untuk mengisi ulang persediaan air dan menunaikan salat Ashar. Begitu selesai, kami pun bersiap dan memulai pendakian yang telah lama kami nantikan.
Di awal perjalanan, kami melewati deretan rumah warga yang dikelilingi pohon bambu yang rimbun. Dari kebun bambu, kami berjalan sekitar tujuh menit hingga mencapai jalur pendakian Bukit Nanggi. Tantangan pertama yang kami hadapi adalah menyeberangi sungai kecil. Beruntung, saat itu sungai sedang kering, sehingga perjalanan menjadi lebih mudah. Namun, kami tetap harus berhati-hati karena banyak batu besar yang tersebar di sepanjang aliran sungai, menuntut keseimbangan dan langkah yang cermat.
Setelah menempuh perjalanan yang cukup jauh, kami akhirnya memasuki hutan. Di sepanjang jalur ini, tanjakan-tanjakan kecil mulai terasa melelahkan, tetapi semangat kami masih tinggi. Kami terus berjalan menanjak hingga keluar dari hutan, lalu menghadapi tantangan berikutnya: jalur curam di tepi jurang yang terjal. Rasa gugup sempat muncul, tetapi keindahan alam di sekitar kami membuat perjalanan ini terasa lebih bermakna.
Semakin jauh, jalurnya semakin terjal dan menguras tenaga. Keringat mulai membasahi tubuh, napas terasa berat, dan kaki semakin lelah. Karena itu, saya dan teman-teman beberapa kali berhenti sejenak untuk beristirahat, mengatur napas, dan mengumpulkan energi sebelum melanjutkan pendakian. Meski lelah, rasa penasaran akan keindahan di puncak terus mendorong kami untuk tetap melangkah.
Udara di Bukit Nanggi tetap sejuk berkat pepohonan yang rimbun, membuat pendakian terasa lebih menyenangkan. Meski begitu, kami harus tetap waspada karena banyak akar pohon dan bebatuan di sepanjang jalur. Sesekali, salah satu dari kami hampir tersandung, disambut tawa kecil yang membuat suasana semakin akrab.
Saat melangkah lebih jauh, mata kami tertuju pada sesuatu yang indah, bunga Edelweis yang bermekaran di tebing jurang. "Lihat, Edelweis!" seru salah satu teman dengan antusias. Kami berhenti sejenak, mengagumi keindahannya. Meski tidak terlalu banyak, kehadiran bunga abadi ini memberi sentuhan magis pada perjalanan kami, seolah menyambut setiap pendaki yang lewat dengan pesonanya.