Mohon tunggu...
Nando Sengkang
Nando Sengkang Mohon Tunggu... Editor - Mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara

Penikmat Filsafat, Politik, Sastra, dan Sepak Bola

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Banjir, "Kado" Tahun Baru untuk Ibu Kota

2 Januari 2020   14:43 Diperbarui: 3 Januari 2020   08:37 206
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


Tahun Baru Untuk Jakarta

"Tahun baru akan tiba!", semua bergegas menyambutnya dengan sedemikian cara yang beragam. Cara-cara unik itulah tanda antusiasme penghuni kota. 

Mulai dari lagu-lagu natal yang mulai dimainkan sejak awal Desember, Christmas Carol di Bundaran HI, Natal Nasional di ICC Sentul-Bogor, hingga ribuan kembang api yang mewarnai langit ibu kota. Pesta kembang api menjadi penutup. Kita tengok sedikit ke Taman Mini Indonesia, 7.042 tembakan kembang api dalam rangka perayaan tahun baru mewarnai langit ibu kota yang mulai gelap itu. Sebelum melakukan tembakan, di area Danau Arsipel Indonesia terdenyar sebanyak tiga kali bunyi klakson kapal pada sekitar pukul 11:57. Tepat tiga menit sebelum pesta kembang api dimulai. Setelah itu, ketika pkl 00:01, ribuan tembakan mewarnai langit yang mulai mendung itu (bdk. Kompas.com/read/2020/01/01).

Akan tetapi, pesta kembang api yang hingar-bingar itu tidak berlangsung lama. Beberapa saat kemudian, hujan deras mulai  mengguyur ibu kota. Kerumunan di bundaran HI akhirnya terpecah, taman kota yang awalnya ramai, kini terlihat kosong tanpa pengunjung, ibu kota kembali sunyi tanpa kerumunan yang padat. Semua warga, sibuk menyelamatkan diri. Sebab, mereka tahu bahwa sebentar lagi musibah akan datang. 

Musibah itu sudah familiar nan bersahabat, banjir namanya! Kini, dari antusias menyambut tahun baru, yang ditutup dengan pesta kembang api, warga ibu kota antusias menyelamatkan diri dan barang-barang berharga. Mereka bergegas mencari tempat mengunsi, serta sibuk menyelamatkan barang-barang berharga lainya sebelum terseret banjir.

Menurut data Bandan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dan Humas Polda Metro Jaya, tercatat 24 orang  di area Jabodetabek tewas akibat terseret arus banjir, tersetrum listrik, dan terkena longsor. Jumlah ini tentu akan bertambah seiring titik banjir yang terus meluas. Selain itu, di wilayah Jakarta, sesuai data Posko Banjir Jakarta, hingga Rabu pkl 19:00, terdapat 31.232 pengungsi yang ditampung di 269 pengungsian (bdk. Kompas (2/02/2020). Jumlah tersebut masih sementara, tentu akan terus naik seiring cuaca di ibukota yang semakin buruk.

Ini Salah Siapa?

Banjir merupakan musibah bagi para penghuni kota. Mereka saling meyalahkan satu-sama lain, Saling menuduh ini dan itu, dan saling menutut tanggung jawab si A atau si B. Namun yang dihujani kritik pedas adalah aparat pemerintah DKI Jakarta. Pemerintah lah yang harus bertanggung jawab. Pemerintah terus menerus "diteriak" untuk bertindak cepat dan tepat dalam mengatasi bencana. 

Akhirnya, Anis Baswedan, Gubernur DKI Jakarta, langsung tancap gas. Dia mengerahkan jajarannya untuk bertindak cepat, tanpa menyalahkan pihak manapun dan akan mencari solusi jitu dalam menangani masalah tersebut. Selain itu, pelbagai relawan mengerahkan bantuannya untuk meringani beban yang ada, khusunya beban pemerintah. 

Pelbagai aksi menyumbang makanan dan menyediakan tenda pengunsian dilakukan oleh para relawan. Ambil contoh sahabat saya seorang biarawati di daerah Grogol, rumah (biara) mereka akhirnya dibuka untuk para pengunsi. Mereka pun mengerahkan tenaga untuk membantu dengan mensuplai makanan, tempat tidur, baju-baju bekas, dan memberikan obat-obatan seadanya.

Banjir Sebagai "Kado" Terindah

Pelbagai pihak, baik aparat pemerintah juga para relawan, yang bahu-membahu mengatasi masalah yang ada patut diberi apresiasi. Dari pada sibuk menyalahkan ini-itu, sebaiknya kita mengerahkan bantuan yang realistis. Singkatnya, semua pihak harus bertanggung jawab! Walaupun beban utama ada pada pemerintah DKI.

Dari pada kita sibuk mengkritisi pemerintah atau menyalahkan ini-itu, sebaiknya kita merefleksikan masalah banjir dengan cara "yang lain". Cara "yang lain" itu adalah mengubah perspektif kita mengenai banjir. Memang sangat sulit untuk mengubahnya karena kita masih "terluka" oleh janji-janji manis para pemimpin. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun