Mohon tunggu...
Nandini Bratandari
Nandini Bratandari Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Pelajar

nandini

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Resensi Buku Novel: "Tokyo dan Perayaan Kesedihan"

8 April 2021   10:00 Diperbarui: 8 April 2021   14:56 4974
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Meski Dapat Disudahi, Hidup Ini Juga Berhak Dijalani

Judul Buku: Tokyo dan Perayaan KesedihanPenulis: Ruth Priscilia Angelina
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Cetakan: 2020
Tebal Halaman: 208 halaman
Harga Buku: Rp75.000

Ruth Priscilia Angelina, perempuan kelahiran Jakarta, 12 April 1991 ini memutuskan untuk melawan rasa takut dan menebas kebingungannya dengan pergi ke Tokyo seorang diri. Di tengah hiruk pikuk Tokyo yang membuatnya merindukan banyak orang, Ruth memutuskan untuk menulis novel dan memotret hal-hal yang Ia jumpai selama perjalanannya. Tokyo dan Perayaan Kesedihan bukanlah karya pertama Ruth. Sebelumnya Ia sudah menulis setidaknya 5 hingga 6 buku. Dari beberapa karya Ruth tersebut, tak jarang ditemukan buku-buku dengan pembawaan yang sedih seperti buku Tokyo dan Perayaan Kesedihan ini.

Buku berjudul Tokyo dan Perayaan Kesedihan ini akan dibagi menjadi 2 bagian cerita. Bagian pertama akan menceritakan bagaimana perjalanan seorang tokoh bernama Shira Nagano yang memutuskan berlibur seorang diri ke Tokyo untuk merenungkan dan mencari penyelesaian dalam hidupnya. Tokoh Shira digambarkan sebagai anak perempuan yang dituntut banyak hal oleh sang Ibu sejak kecil. Shira tidak pernah mendapatkan ruang untuk menjadi dirinya sendiri karena segala hal yang Shira lakukan tak lain adalah kemauan sang Ibu. Shira terlihat baik-baik saja di luar namun hancur di dalam. 

Shira banyak membohongi kehidupannya karena ia jarang sekali bertindak sesuai dengan kemauannya. Bahkan Shira tidak pernah mengenal siapa dirinya, hal apa saja yang menjadi keinginannya, dan hal apa yang Ia benci. Ia selalu hidup di bawah ekspektasi orang dan Ia pun selalu terpaksa memenuhi semua ekspektasi itu. Perjalanan Shira ke Tokyo ini memberinya harapan untuk menemukan siapa dan seperti apa Shira Hidajat Nagano yang sesungguhnya, Shira yang tidak harus memenuhi ekspektasi orang lain. Semua keluh kesah Shira dan pertanyaan-pertanyaan seputar kehidupannya ditumpahkan dalam buku ini. Bahkan surat-surat Shira untuk Papa-Mama dan sahabat-sahabat tersayang Shira juga dituliskan dalam buku ini dengan bahasa yang sangat menyentuh hati.

Kemudian pada bagian kedua buku ini akan menyajikan kisah Joshua Sakaguchi, seorang pemain biola profesional yang telah menjejakkan kaki di berbagai benua untuk menampilkan kepiawaiannya dalam bermain biola. Sosok Joshua ini digambarkan sebagai seorang pria dengan pembawaan yang sopan, tenang, dan berwibawa. Joshua memiliki banyak penyesalan dalam hidupnya. Ia menyesal karena selalu meremehkan kakaknya. Joshua tidak pernah menanyakan kabar Kakak, mengapa Kakak memilih kantor ini, tidak pernah marah saat Kakak pulang malam, dan yang paling disesalinya tidak mengantarkan saat Kakak butuh berobat. Fakta bahwa Kakaknya terkena kanker rahim membuatnya sangat terpukul dan mulai menyadari apakah selama ini Ia sudah menjalani tugas sebagai anak laki-laki. Joshua menyesal terlalu sibuk menuai pujian atas penampilannya di atas panggung yang membuatnya tidak mengangkat telepon dari kakaknya saat Ayahnya sedang dalam masa kritis.

Pertemuan Shira dengan Joshua di Tokyo seperti jawaban atas berbagai hal yang membebani masing-masing hidup mereka. Shira menemukan Joshua sebagai orang yang memberi celah bagi Shira untuk memvalidasi apa yang ada di benak hati Shira. Sikap Joshua mampu membuat Shira menjadi dirinya sendiri tanpa harus mendengarkan suara-suara yang selama ini memenuhi kepalanya. Berbagai penyesalan dalam hidup Joshua mendorongnya untuk peduli dengan Shira yang tengah berada di masa suram dalam hidupnya. Joshua tidak ingin memiliki penyesalan lagi dalam hidupnya, Ia tidak tinggal diam agar Shira tidak mengambil langkah yang salah.

Penulis sangat pandai dalam merangkai dan menggunakan bahasa-bahasa yang indah. Terutama saat Shira menulis surat untuk Papa-Mama dan sahabat-sahabatnya, pesan yang disampaikan cukup dalam. Hal ini membuat isi dari buku ini sangat menyentuh hati dan membekas di hati para pembaca. Keluh kesah Shira dan pertanyaan-pertanyaan yang Shira lontarkan dalam buku ini tak jarang kita temui di kehidupan sehari-hari. Pembaca akan sangat merasakan dan memahami perasaan kedua tokoh dalam buku ini. Cerita ini memiliki latar di Kota Tokyo yang telah digambarkan oleh penulis dengan sangat baik. Bahkan penulis menyisipkan foto-foto beberapa tempat yang Ia kunjungi.

Terlepas dari penggambaran visual yang sangat baik, ketika membaca buku ini masih ditemukan beberapa istilah yang kiranya kurang familiar sehingga pembaca akan bertanya-tanya apa artinya. Seperti pada halaman 24 terdapat nama tempat “sensei-bako”. Sangat disayangkan tidak ada penjelasan lebih lanjut mengenai apa itu sensei-bako. Kemudian di halaman 58, di buku ini dituliskan “Gue memandang tulisan tangan gue sendiri pada papan Ema berharga JP¥1000 itu.”. Istilah “Ema” ini membuat pembaca akan bertanya-tanya apa itu ema? Atau seperti apakah bentuk ema?

Sebagai penutup, buku Tokyo dan Perayaan Kesedihan ini merupakan novel yang bagus. Novel ini sangat direkomendasikan bagi teman-teman yang sedang merasakan lelahnya hidup dengan penuh ekspektasi dari orang lain, teman-teman yang sering mempertanyakan hal-hal yang banyak orang bilang “tidak penting untuk dipikirkan”, bahkan teman-teman yang muak dengan segala peraturan yang menyesakkan. Buku ini bisa menjadi penghibur sekaligus refleksi kehidupan yang amat menyentuh.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun