Mohon tunggu...
Nandang Darana
Nandang Darana Mohon Tunggu... wiraswasta -

Lahir di Majalengka, Jawa Barat. Mendalami dunia tulis menulis sejak 1992, namun kehilangan gairah pada 2004-an. Awal 2009 gairah itu muncul lagi, meski dengan tertatih-tatih: terlalu banyak yang telah dilewatkan dan mesti belajar lagi dari nol!

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Ayo, Menulis Puisi!

9 November 2010   11:53 Diperbarui: 26 Juni 2015   11:44 349
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

Puisi bermaksud merangkum sejumlah perasaan dan pikiran dalam kata-kata yang singkat, padat dan indah. Jadi, mulailah dengan “merasa” segala sesuatu. Ketika melihat atau mendengar suatu hal, dalam diri seseorang biasanya muncul “perasaan” tertentu. Perasaan itu kemudian merambati aliran darah dan mendorongnya untuk berekspresi. Perhatikan, bagaimana orang yang semula diam dan tenang, akan berubah marah jika tiba-tiba Anda dicaci. Mungkin ia akan memukul Anda. Atau, perhatikan perubahan sikap orang yang tengah bercanda-tawa, tiba-tiba mendapat kabar keluarganya ada yang wafat. Tentu ia akan berubah sedih, menangis, bahkan histeris –tergantung tingkat kedekatannya.

Nah, seorang penulis puisi sangat percaya pada kekuatan kata. Karena itu, ekspresi atas apapun akan muncul dalam bentuk rangkuman kata-kata. Ia akan segera memilih kata-kata yang paling tepat untuk mengungkapkan perasaannya. Jadi, langkah berikutnya adalah berpikir. Pikirkanlah apa yang tengah Anda rasakan, kemudian pikirkan kata-kata apa yang paling tepat untuk “menghadirkan” perasaan itu.

Istilah “menghadirkan” dimaknai dengan “menyusun perasaan dan pikiran dalam rangkaian kata-kata”. Biarkan kata-kata mengalir sesuai tuntunan perasaan dan pikiran yang ada. Jika ini selesai, Anda sudah memiliki rancangan sebuah puisi. Maka, rasakan dan pikirkan kembali apa yang telah Anda tulis. begitulah seterusnya secara berulang-ulang. Dalam proses ini, mungkin saja Anda bosan dan jenuh. Tapi percayalah. Rasa bosan itu akan terobati dan sirna sama sekali oleh kepuasan atas kualitas tulisan Anda. Mungkin Anda sendiri tidak akan percaya, “kok, saya bisa membuat puisi seperti ini?”

Sampai tahap ini, Anda telah berhasil membangun sebuah realitas baru dalam sebuah puisi. Ibarat membangun rumah, orang lain pun telah sependapat bahwa Anda telah membuat sebuah rumah. Indah tidaknya rumah tersebut tergantung bagaimana Anda memilih interior dan eksteriornya. Oleh sebab itu, langkah selanjutnya adalah memberikan nuansa estetis pada puisi. Nuansa estetis ini dapat ditengarai pada, antara lain, simbolisasi, rima (bunyi), serta penyusunan larik dan bait.

Dalam puisi, “kata” digunakan dengan istilah “diksi”. Diksi bergabung membentuk “larik” (kalimat). Di sini, muncul lagi kekuatan puisi lainnya: imaji. Selanjutnya, antar larik terjalin suatu hubungan yang melahirkan impresi. Nah, baik diksi maupun larik bisa merupakan simbol-simbol yang berdiri sendiri, bisa pula berbentuk kesatuan simbol. Hubungan logis pada penggunaan simbol dan korespondesi (kesalinghubungan) antar simbol, juga menjadi kekuatan tersendiri dari puisi.

Bingung? Marilah kita permudah dengan memperhatikan sebuah puisi karya Sapardi Djoko Damono, Aku Ingin.

Aku Ingin

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
Dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu
Kepada api yang menjadikannya abu

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
Seperti isyarat yang tak pernah disampaikan awan
kepada hujan yang menjadikannya tiada

Secara agak lebar, dapat dikatakan bahwa puisi tersebut menceritakan keinginan si aku untuk bisa mencintai seseorang (bisa pula sesuatu yang lain di luar si aku) dengan cara dan pola hubungan tertentu. Selanjutnya, kita coba perluas pemahaman ini. Pertama, si aku dalam puisi tersebut berkeinginan untuk mencintai dengan cara sederhana. Cara ini dinyatakan larik pertama pada awal masing-masing paragraf (bait): Aku ingin mencintaimu dengan sederhana. Ke”sederhana”an cara mencinta si aku diumpamakan seperti hubungan kayu dan api dalam proses pembakaran, serta proses perubahan bentuk dari awan ke hujan. Inilah makna awal yang bisa kita peroleh. Kedua, ke”sederhana”an cinta si aku yang dinyatakan pada larik-larik pertama pada kedua paragrafnya itu, tampak memiliki persoalan jika dikaitkan dengan larik-larik berikutnya.

Pada bait pertama, ke-sederhana-an cinta si aku disejajarkan dengan “… kata yang tak sempat diucapkan kayu/ Kepada api yang menjadikannya abu //.” Dari larik ini, diketahui bahwa si aku memposisikan dirinya sebagai kayu sementara yang dicintainya diposisikan (oleh si aku) sebagai api. Untuk memahami ini, kita mesti membayangkan kayu yang di bakar api. Jika ini dapat kita bayangkan, maka sebetulnya cara mencinta si aku tidaklah se-sederhana seperti keinginan si aku. Sebab, kayu harus pasrah dan membiarkan dirinya –nyaris tanpa perlawanan-- untuk dijadikan abu. Pada titik ini, kita sebetulnya sedang berhadapan dengan pola percintaan yang menyimpan misteri sekaligus kepasrahan yang total dari si aku terhadap yang dicintainya. Pemahaman ini mendapat penegasan dari bait berikutnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun