Mohon tunggu...
Nandana  Athar
Nandana Athar Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Mendaki adalah Bagian Cinta Diri Sendiri

9 Januari 2018   23:26 Diperbarui: 9 Januari 2018   23:42 539
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ada kalanya kita perlu menikmati kehidupan ini dengan apa yang kita mau. Tidak melulu harus mengikuti dunia seperti apa. Tapi, bagaimana diri kita sendiri mau apa. Dan untuk dunia biarlah mengalir begitu saja. Sama dengan perihal cinta, mengalir begitu saja. 

Sejujurnya aku sedikit canggung untuk menjabarkan apa yang menjadi bagian cinta dalam diriku baru baru ini. Namun, aku ingin membagi pengalaman yang cukup membuatku terkagum kagum pada alam. Membuat diriku nyaris merasa tak memiliki daya dan upaya lagi pada pertengahan jalan.

Baiklah, akan aku ceritakan perihal itu. Pagi itu, aku masih di kostan. Libur kuliah menjelang tahun baru. Suasana kost sepi, hanya meninggalkan aku dan temanku seorang. Lalu, entah kenapa temanku mengajakku pergi mendaki. Aku tak yakin bisa mendaki. Sebab, aku tak pernah memiliki pengalaman mendaki. Apa jadinya jika aku harus mendaki tanpa persiapan apapun.

Temenku terus saja meyakinkanku perihal apa yang selalu menjadi ketakutanku dengan sejumlah pertanyaan yang kadang justru membuatnya tertawa. Menyebalkan. 

Semua persiapan sudah disediakan oleh temanku. Mulai dari tenda, Slepping Bag, hingga peralatan memasak. Dan segala hal terkait apa yang menjadi keperluan mendaki telah terlengkapi oleh temanku. Awalnya aku memang terus menolak. Namun, entah kenapa ajakannya terus tak terhenti disaat puluhan kali aku menolak. Hingga akhirnya aku ikut padanya.

Foto itu diambil saat kita lagi mencari cari tempat penyewaan camera. Dan pada akhirnya setelah ikut, ada yang tertinggalkan. Camera. Tidak ada yang camera lagi yang bisa di sewa. Semuanya telah sold out di sewa oleh orang orang yang mau berlibur menyambut tahun baru. 

Aku tak mungkin pulang lagi ke kost. Sebatas camera saja yang tertinggalkan. Perjalanan pun terus berlanjut. Aku bersama temanku menjemput dua temen yang bakal nemenin kita lagi. Perjalanan semakin membuatku lelah dan menjenuhkan. Sebab, orang yang akan diajak pergi ternyata entah lagi ada dimana. Berputar putar kita mencari satu teman itu tetap saja tak tertemukan. Aku nyaris ingin pulang. Sebab, semua terasa melelahkan.

Dan pada akhirnya setengah jam kemudian kita baru menemukan teman kita yang satu lagi untuk diajak mendaki. Perjalanan panjang ditempuh. lika liku jalanan terjal dan arus yang terlihat mematikan itu terasa semakin mengerikan saja. Aku merasa tak sanggup untuk meneruskan perjalanaan itu. Namun, sangat tidak mungkin jika harus kembali pulang. Sementara perjalanan sudah sangat jauh. Entahlah saat itu aku hanya bisa mengikuti motor temnaku dari belakang. Perjalanan melewati kebun karet, hutan belantara, jalanan curam. Bahkan apa yang dikatakan nikmat mendaki adalah kebohongan belaka yang dicipta temanku saat itu. Aku merasa telah terbohongi olehnya. 

Namun, apalah dayaku untuk itu. Aku hanya bisa terus mengikutinya. Hingga perjalanan turun dengan kecuraman dalam hingga tanjakan yang tinggi. Motorku tiba tiba panas dan mati dengan sendirinya. Sementara, perjalanan masih sangat jauh. Jauh sekali. Apalagi hujan juga sudha mulai turun. Aku hanya bisa memandangi hamparan sayuran di tebing tebing bibir gunung. Memandangi pepohonan rindang hijau berseri seri. Namun, tetap saja diriku lelah. Setelah istriahat beberapa menit kemudian, motor bisa menyala kembali seiring mesin yang sudah mulai dingin.

Perjalanan motor masih memakan waktu sekitar dua jam lamanya. Dan hujan sudah tumpah ruah mengguyur tubuh kami kala itu. Dingin. DIngin sekali. jauh lebih dingin ketimbang terguyur seember air es. Hingga akhirnya perjalanan mendaki melewati jalanan tikut mulai menyiksa lagi. Lelah sekali. Kaki terasa pegal. Rasanya tak mampu lagi bertahan untuk melanjutkan lagi. Namun, kata temanku sebentar lagi sampai. Dan entah berapa kali dia mengucapkan kalimat yang sama padaku. Dan aku tetap percaya padanya. Sial.

Hujan masih terus mengguyur sepanjang waktu perjalanan mendaki. Hingga menjelang petang dan malam gelap gulit menyerang. Aku sama seklai tak bisa melihat jalanan. Sebuah senter kecil yang tak terang aku pergunakan. Sembari merapa raba. Berjalan dengan merangkak. Seperti bayi yang baru proses merangkak. Apalagi dengan beban tas yang digendong. Air mineral lima buah dengan ukuran yang besar. Itu sungguh menyiksa lagi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun