Mohon tunggu...
YAYANG NANDA BUDIMAN
YAYANG NANDA BUDIMAN Mohon Tunggu... Lainnya - Legal Content Writer

Legal Analyst, Kontributor Lepas Literasi Hukum.com, Author Jendela Hukum.com, Content Writer Lepas Pinter Hukum. Id, Writer The Columnist. Id, Penulis Buku, Alumni Mahasiswa Hukum Universitas Galuh

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Menakar Legitimasi Hukum di Tengah Resistensi Kuasa

14 September 2021   09:14 Diperbarui: 14 September 2021   09:21 405
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Dalam artikel kali ini ada beberapa hal yang mungkin “menggairahkan” untuk dikupas beberapa lapisan yang "membungkus" orisinalitas hukum dengan menggunakan pendekatan pisau analisa teori hukum kritis sebagai upaya memberikan sebauh wacana gagasan alternatif secara sederhana.

Hukum merupakan sebuah instrumen yang tidak berpihak, netral dan semua memiliki akses yang sama dihadapan hukum (Equality before the law), "Demi keadilan", "Demi kebaikan bersama", "Demi kepentingan umum", "Demi stabilitas" dan ungkapan senada lainnya tak asing kita dengarkan. Narasi demikian bukanlah kata-kata yang keluar dari lisan para pedagang angkringan, supir angkutan umum atau ibu-ibu di pasar, tapi ucapan tersebut tak jarang kita jumpai dari para politisi di televisi.

Berbanding terbalik dengan ungkapan sebelumnya, kita tak jarang pula mendengarkan "suara sumbang" dari kelompok rentan seperti halnya peribahasa "Hukum tajam ke bawah dan tumpul ke atas", "Maling-maling kecil dihakimi, maling-maling besar dilindungi", "Si pencuri miskin mendekam di penjara, si kaya dipotong masa tahanannya".  Kenapa ungkapan seolah tak berhenti eksis dari kehidupan masyarakat? Kenapa hal demikian diucapkan?

Kelompok yang termarjinalkan mempunyai paradigma yang  terkonstruksi dari pengakumulasian pengalaman pribadi yang mungkin jauh lebih empiris, ketimbang penilaian sekelompok orang terpelajar yang bukan ahli hukum tapi menafsirkan hukum (de ontwikkelde leek). hal ini seolah beranggapan bahwa adanya kontradiksi antara das sollen yang diharapkan dengan keadaan das sein yang sebenarnya terjadi.

Tentu dengan ketidaksamaan persepsi antar kedua kelompok tersebut menimbulkan satu dirkursus klasik namun pelik: "Apa itu hukum?"

Secara teoritis, hukum seharusnya berpihak kepada rakyat secara keseluruhan. Tetapi dalam praktiknya, monopoli kepentingan tak lagi terelakkan.

Hukum dapat dikatakan ideal apabila hukum merefleksikan nilai-nilai keadilan, menkonstruksi serta mengakomodasi semua aspirasi dan kepentingan rakyat sebagai subjek yang terkena dampak langsung dari setiap produk hukum yang berlaku (Ius Constitutum), bukan produk penguasa atau kelompok yang memperalat hukum guna mencapai semua kepentingan kelompoknya. Dalam kerangka analisisnya, Marx memosisikan hukum sebagai bangunan atas atau "suprastruktur" yang tidak lepas dari pengaruh hubungan ekonomi dari kelas dominan yang ia sebut sebagai landasan materil. 

Dalam hal ini, kelompok minoritas tapi dominan tersebut dikatakan Marx sebagai kelas borjuis. Dari kerangka pemikiran Marx yang singkat tersebut kita dapat membuat sebuah hipotesa sederhana bahwa hukum bukanlah satu lembaga yang objektif, otonom, netral dan bebas nilai. Produk hukum yang dibahas, dirancang dan disahkan tidak terlepas dari aspek ideologis para pembentuknya.

 Agak naif apabila seseorang mengatakan bahwa hukum itu netral, tidak ada intervensi dari nilai manapun sebagaimana yang diyakini kaum pluralis pada umumnya.  Tentu kondisi tersebut merupakan keinginan (utopia) dari semua kalangan, namun hal tersebut jangan sampai mengalienasi fakta yang sebenarnya terjadi.

Arief Budiman dalam bukunya yang berjudul Teori Negara: Negara, Kekuasaan dan Ideologi, halaman 62, mengatakan: "Secara hukum, semua orang memang bisa menempati jabatan Negara, jabatan militer, posisi bisnis kelas atas. Tetapi dalam kenyataannya, jabatan itu diduduki oleh orang-orang dari kelompok tertentu saja". Ungkapan tersebut seolah mempertegas teori elite kekuasaan dari C.Wright Mills.

Untuk menilisik lebih jauh lagi kita dapat mengambil salah satu contoh peristiwa demonstrasi yang bertajuk #ReformasiDiKorupsi yang terdiri dari berbagai elemen masyarakat, mahasiswa hingga buruh yang menolak atas disahkannya Undang-Undang Cipta Kerja, Undang-Undang Minerba dan Revisi Undang-Undang KPK.

Meskipun mendapatkan banyak menuai kritikan dari berbagai kalangan, hal itu tidak sedikit pun menyurutkan agenda legislatif dan eksekutif yang bersikukuh untuk mengesahkan beberapa undang-undang yang sebelumnya sudah diwarnai dengan segala bentuk kontroversi dan keberatan banyak pihak.

Jika sedari tahap pembahasan, perancangan dan pembentukan hukumnya saja sudah menimbulkan berbagai macam polemik, konflik vertikal dan pertentangan di arus bawah, maka dalam hal ini hukum secara tidak langsung kehilangan "kesuciannya" sebagai sarana dan perantara yang mengakomodasi semua aspirasi rakyat sekaligus sebagai instrumen yang mempertahankan perdamaian dan mencapai keadilan.

Meskipun secara konstitusional legislatif mempunyai kewenangan atas pembentukan undang-undang, bukan berarti hal tersebut dapat mengesampingkan asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik: asas keterbukaan, keadilan dan kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan. Sehingga hal ini jangan sampai menormalisasi sebuah asas hukum yang mengatakan "Lex dura, sed tamen scripta" yang artinya "Hukum itu kejam, tetapi memang begitulah bunyinya". 

Legislatif, bagi Rousseau, merupakan sebuah manifestasi kehendak. Kehendak yang terrefleksikan pada legislatif sesungguhnya milik rakyat. Hal itu pula yang menegaskan prinsip kedaulatan rakyat. Dikutip dari bukunya E.Fernando M. Manullang, Legisme, Legalitas dan Kepastian Hukum, halaman, 84, “Rakyat oleh sebab itu dapat membatalkan setiap produk legislasi yang dianggap tidak sesuai dengan kehendak umum. 

Kehendak umum yang sejatinya milik rakyat, tidak dapat diabaikan, yang ini berarti memberikan implikasi bahwa setiap undang-undang yang tidak diratifikasi oleh rakyat, maka undang-undang itu dinyatakan tidak berlaku dan mengikat” (Lihat Mads Qvortup, The Political Philosophy of Jean-Jacques Rousseau, hlm. 61). 

Selaras  dengan pemikiran Rousseau, Friendrich Von Savigny dalam teori Volgeist-nya yang pada hakikatnya hukum itu tumbuh dan berkembang dari rahim kehidupan rakyat (Rechtsgewohnheiten), bukan semata-mata yang dibuat oleh negara (eksekutif dan legislatif). Jadi bagi Von Savigny, hukum itu mesti dicari, bukan hanya dibuat. Hukum bukanlah barang baru, tapi hukum merupakan satu komponen yang berdampingan dalam interaksi masyarakat. 

Hal senada lainnya dikatakan oleh tokoh hukum terkemuka, Prof. Dr. Mr. L.J. Van Aveldoorn dalam bukunya Pengantar Ilmu Hukum, halaman 71, bahwa "Pembentuk undang-undang yang tak mengenal tujuan yang lain daripada memajukan kepentingan beberapa orang yang berkuasa dengan merugikan kepentingan orang banyak, meletakkan kekuasaan di atas hukum, mengabaikan suum cuique (dasar kesusilaan dari segala hak), dengan demikian melenyapkan tiap-tiap dasar kesusilaan dan peraturan-peraturan dan kekuasaannya sendiri, akan tetapi juga menggali liang kubur untuk kemusnahannya sendiri".

Dengan memaksakan memberlakukan hukum yang mendapatkan banyak kecaman dari banyak kalangan, meski dikatakan sah dan berlaku secara legalitas, namun hukum tersebut telah kehilangan legitimasinya. Dan hanya melalui pendekatan analisis mendasarlah kita dapat membongkar seluk-beluk hal-hal yang melatar belakangi dibentuknya suatu aturan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun