Mohon tunggu...
Nanda Amelia
Nanda Amelia Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi

Berenang/saya adalah orang yang care dengan orang lain/ Dedy Corbuzier

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Pelecehan Seksual pada Bangku Perkuliahan

14 Agustus 2022   12:16 Diperbarui: 14 Agustus 2022   12:27 213
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Kasus pelecehan seksual yang terjadi ini, banyak dialami anak-anak dan remaja, khususnya perempuan yang sedang menempuh pendidikan di bangku perkuliahan. Secara umum, korban pelecehan seksual adalah anak-anak dan remaja yang berusia di bawah 18 tahun, hanya dalam beberapa kasus pelecehan seksual saja yang korbannya merupakan perempuan dewasa. 

Hal ini disebabkan pada usia anak-anak dan remaja, mereka belum memahami dengan baik tentang pendidikan seks dan pelecehan seksual, tentang perilaku mana yang harus dihindari, serta tentang akibat yang akan timbul dari tindakantindakan asusila tersebut. 

Di samping itu, anak-anak dan remaja cenderung tidak punya kekuatan untuk menolak keinginan si pelaku, ditambah lagi pelaku mengancam korban secara fisik dan psikis. Berbeda halnya dengan pelaku pelecehan seksual. Profil pelaku pelecehan seksual berbeda-beda, baik itu dari latar belakang pendidikan, pekerjaan, tempat tinggal, maupun status sosial ekonomi. 

Namun yang menjadikannya sama adalah semua pelaku pelecehan seksual yang ditemui adalah laki-laki. Hal serupa juga dikemukakan oleh Anwar Fuadi (2011) dalam penelitiannya bahwa setiap orang dapat menjadi pelaku perkosaan tanpa mengenal usia, status, pangkat, pendidikan, dan jabatan. Penelitian Abar dan Subardjono (Anwar Fuadi, 2011), menunjukkan bahwa berdasarkan data usia pelaku perkosaan, dapat dikatakan bahwa pelaku perkosaan tidak mengenal usia.

 Dari segi bentuk pelecehan seksual yang dilakukan, sebagian besar adalah pencabulan dan pemerkosaan, di samping sodomi yang terjadi pada salah satu kabupaten. Bentuk-bentuk pelecehan seksual seperti ini sudah tergolong ke dalam bentuk pelecehan seksual secara fisik. 

Seperti yang dikemukakan oleh Marcheyla Sumera (2013) bahwa pelecehan seksual memiliki rentang yang sangat luas, mulai dari ungkapan verbal (komentar, gurauan dan sebagainya) yang jorok/tidak senonoh, perilaku tidak senonoh (mencolek, meraba, mengeus, memeluk dan sebagainya), mempertunjukkan gambar porno/jorok, serangan dan paksaan yang tidak senonoh seperti, memaksa untuk mencium atau memeluk, mengancam akan menyulitkan si perempuan bila menolak memberikan pelayanan seksual, hingga perkosaan.

 Adapun dampak yang ditimbulkan akibat pelecehan seksual bagi korban dapat dilihat dari beberapa sudut pandang yaitu dampak trauma seperti timbulnya ketakutan, trauma, depresi, dan gangguan psikologis lainnya; dampak seksual yakni adanya dokumentasi video mesum dan terengut keperawanan; dampak ekonomi yaitu berupa kerugian material; dan dampak sosial yaitu ditinggalkan/dikucilkan oleh orangtua dan orang-orang terdekat serta lingkungan, dan penelantaran yang dilakukan oleh pelaku jika status hubungan antara pelaku dan korban adalah pacaran dan korban dijanjikan untuk dinikahi. 

Dalam kasus pelecehan seksual ini, satu hal yang perlu diketahui, bukan soal berapa tahun hukuman untuk pelaku, melainkan soal kualitas, yaitu seberapa dalam luka psikis yang dialami korban, dan betapa sulitnya bagi korban untuk dapat pulih, berdamai dengan dirinya sendiri, dan berdamai dengan masa lalunya. Sebab trauma psikis tidak sama dengan luka fisik yang waktu penyembuhannya relatif cepat. Luka psikis ataupun trauma psikis adalah luka yang tidak tampak, namun ia ada. Menyembuhkan luka trauma pada korban pelecehan seksual tidaklah mudah, tentu dibutuhkan usaha yang keras dan waktu yang tak dapat ditentukan untuk memulihkannya. Bisa jadi upaya pemulihan korban membutuhkan waktu bertahun-tahun, atau bahkan seumur hidup untuk dapat berdamai dengan dirinya sendiri dan masa lalunya, serta upaya untuk menyembuhkan trauma dan gangguan-gangguan lain yang dialaminya.

 Yang sangat disayangkan adalah penanggulangan selama ini hanya berupa kurungan dan denda bagi pelaku. Setelah masa tahanan berakhir, pelaku dapat merasa senang menghirup udara bebas, sementara korban masih menderita gangguan psikologis akibat pelecehan seksual yang pernah dialaminya. Tentu ini menujukkan bentuk penanggulangan yang belum memadai, kekuatan hukum terhadap tersangka perlu dijabarkan kembali, tersangka perlu mendapat pelajaran dari perilaku asusila yang telah dilakukannya. 

Selain itu, adanya revisi kembali isi Undang-undang Perlindungan Anak dan pemerintah bertindak tegas terhadap kasus ini, yaitu dengan menyediakan program pemulihan psikologis bagi korban, dan pelaku pelecehan seksual terhadap anak agar dapat dihukum seberat-beratnya dengan harapan agar dengan menghukum pelaku seberat-beratnya dapat menjadi upaya preventif bagi masyarakat agar kasus kekerasan dan pelecehan seksual terhadap anak tidak terjadi lagi di kemudian hari. 

Meskipun mekanisme pencegahan dan penanggulangan kekerasan seksual di perguruan tinggi sudah ada, akan tetapi harus dibarengi dengan birokrasi yang baik dan sumber daya manusia yang memadai. Sumber daya manusia berperan penting dalam menciptakan lingkungan dan budaya kampus yang ramah gender, terbebas dari kekerasan seksual. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun