Mohon tunggu...
Nanda Alyya Riftina Azmi
Nanda Alyya Riftina Azmi Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswi

don't give up!

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Guru Sebagai Komponen Paling Penting dalam Peningkatan Kualitas Pendidikan

9 Desember 2022   15:27 Diperbarui: 9 Desember 2022   15:38 221
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Studi di banyak negara menunjukan bahwa komponen yang paling penting dalam peningkatan mutu pendidikan adalah kualitas profesi  guru. Ini setidaknya ditunjukan pada ungkapan dua peneliti ternama Michael Fullan & Kim (1991,2007), yaitu “the quality of education can not  exceed the quality of teachers” and “educational changes depends on what teachers do and think”. Ungkapan dari kedua peneliti tersebut semakin memberi keyakinan bahwa mutu pendidikan tidak akan pernah terwujud tanpa guru yang kompeten dan dikelola secara efisien agar kinerjanya  profesional. Banyak hasil penelitian mengungkapkan bahwa guru yang kurang kompeten dan rendah kinerjanya tidak sepenuhnya ditentukan oleh pendidikan guru. Yang ditengarai jauh lebih kuat dampaknya adalah tata kelola guru yang kurang efektif dan kurang efisien serta fragmentatif, mulai dari tingkat nasional, daerah,  hingga ke tingkat satuan pendidikan (Suryadi & Budimansyah, 2016).

Guru yang kurang berkualitas dan inferior tidak sepenuhnya ditentukan oleh pendidikan guru. Pengaruh yang lebih kuat diduga kepemimpinan guru yang kurang efektif dan kurang efisien serta terfragmentasi mulai dari satuan pendidikan tingkat nasional dan daerah (Suryadi & Budimansyah, 2016). Hal demikian terjadi karena adanya program sertifikasi guru. Setelah lebih dari 15 tahun dilaksanakan, program sertifikasi guru belum diefakuasi dengan skala nasional. Diadakannya evaluasi itu  mengakibatkan belum adanya pemahaman secara komprehensif apakah investasi ini efektif dalam upaya peningkatan kompetensi dan kinerja guru, serta belajar siswa sebagai penunjang mutu pendidikan.

Di lain pihak, hasil tes PISA dari tahun ke tahun menunjukkan bahwa  Indonesia sebagai salah satu negara dengan peringkat PISA rendah di dunia. Berdasarkan reanalisis data PISA Elizabeth Pisani (2013) menyatakan bahwa “International Kids don't know how stupid they are”. Skor PISA anak Indonesia dalam literasi matematika, literasi sains, dan literasi membaca bukan hanya sangat rendah tetapi menurun sejak 2009. Namun dalam kondisi seperti itu ternyata 95% anak Indonesia menyatakan merasa berbahagia di sekolah. Jauh lebih tinggi ketimbang anak-anak Korea Selatan yang hanya 60%. Untuk merasa bahagia di sekolah, rupanya anak-anak Indonesia tidak dituntut untuk bekerja keras dan tidak dituntut untuk gigih dalam belajar dan berprestasi. Menurut Elizabeth Pisani (2013) anak-anak Indonesia tidak menyadari bahwa proses pendidikan yang mereka ikuti tengah mengalami proses pendangkalan intelektual. Yang dikhawatirkan akan menjadi kerdil atau stunted, jika tidak segera ditangani dengan kebijakan yang relevan dan bermutu.

Persoalan selanjutnya adalah yang berkaitan dengan pandangan di dunia yang menyatakan bahwa literasi dan numerasi merupakan katalis kemampuan belajar. UNESCO (2013) berpandangan bahwa kemampuan belajar yang diukur melalui indikator literasi dan numerasi dipahami sebagai sebuah katalis yang mampu mengubah sebuah bangsa dari yang kurang, secara perlahan menjadi semakin produktif. Setidaknya ini ditunjukkan oleh Vietnam. Setelah mengejar Indonesia dalam HDI pada tahun 2006, Vietnam juga mampu mengejar Singapura dalam penguasaan literasi dan numerasi yang diukur oleh PISA. bagi Vietnam semakin meningkatnya seorang anak sekolah dalam literasi dan numerasi, maka semakin tinggi kekuatan nyata mutu pendidikannya untuk memacu produktivitas ekonomi negaranya. Sayangnya di Indonesia hingga sekarang belum ada terobosan berarti dalam tata kelola guru secara sistematis untuk memperbaiki pendidikan guru (LPTK); pendidikan profesi guru; serta komponen tata kelola lain yang meliputi rekrutmen, penempatan, dan redistribusi assessment untuk program dan temporasi serta perlindungan profesi guru. Yang cukup fatal adalah belum adanya kebijakan nasional tentang pelatihan dan pembinaan profesi guru berkelanjutan, atau kita kenal sebagai Continuous Professional Development (CPD) untuk memutakhirkan kemampuan profesionalisme guru termasuk untuk program penguatan pendidikan karakter.

Benarkah peningkatan kualitas guru harus menjadi prioritas utama dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan?. Dengan tidak mengenyampingkan faktor lain, guru merupakan faktor yang sangat dominan dalam proses pendidikan. Kim (2007) mengemukakan bahwa profesionalitas guru adalah faktor paling inti dalam mewujudkan mutu pendidikan yang berkelanjutan. Karena pentingnya faktor guru, Kim (2007) bahkan mengemukakan bahwa “the quality of Education cannot exit the quality of teaches”. Jika benar dikatakan bahwa mutu pendidikan tidak akan lebih tinggi dari mutu guru, maka mutu pendidikan tidak akan pernah terwujud jika mutu guru-gurunya tidak berkualitas. Oleh karena itu, maka peningkatan kualitas guru harus menjadi program yang menempati prioritas tertinggi dibanding program-program yang lainnya. Inovasi dan pembaharuan pendidikan baru akan terjadi manakala guru telah dapat berpikir dan berbuat sendiri berdasarkan kompetensi profesi yang dimilikinya.

Pengalaman Indonesia untuk meningkatkan kompetensi guru melalui program sertifikasi guru belum kena sasaran yang tepat, dan menyisahkan permasalahan yang mendasar. Permasalahan tersebut adalah :

  • capaian rata-rata skor 44,5 dari skor ideal minimal 70 dalam uji kompetensi guru (UKG) sangat menghawatirkan. Dari hasil uji literasi PISA maupun uji akademik dari tim Science and mathematics sangat jelas bahwa mutu kinerja guru belum mampu mengungkit prestasi akademik, maupun literasi siswa.
  • Studi Bank Dunia menyimpulkan bahwa sertifikasi belum berhasil dalam meningkatkan kompetensi guru dan peningkatan prestasi belajar siswa.

 melalui tiga kesimpulan penting sebagai berikut:

a. Tidak ada korelasi antara guru pemegang sertifikasi pendidik dengan kompetensinya.

b. Tidak ada korelasi antara sertifikasi guru dengan prestasi belajar siswa.

c. Saking buruknya kualitas guru yang ada sekarang, Bank Dunia  bahkan mengatakan bahwa berapapun anggaran yang dimiliki oleh pemerintah tidak akan mungkin mampu untuk memperbaiki kompetensi mereka. artinya, hanya LPTK yang dapat diharapkan untuk mencetak guru baru yang lebih baik dan perlahan-lahan menggantikan guru yang ada sekarang.

Studi budimansyah dan Suryadi (2012) juga menemukan:

  •  Sertifikat guru lebih banyak diberikan kepada guru yang berusia tua dan berpendidikan S1 ke atas tetapi tidak dijamin memiliki kompetensi yang memadai.
  • Tingginya kualitas belajar siswa lebih ditentukan oleh guru yang lebih muda dan berpendidikan di bawah S1 yang belum memenuhi syarat untuk mengikuti program sertifikasi pendidik.
  • Kompetensi dan kinerja guru lebih banyak ditentukan oleh kompetensi pedagogik dan pendidikan LPTK ketimbang oleh Kompetensi professional.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun