Mohon tunggu...
Nanda Nuriyana SSiTMKM
Nanda Nuriyana SSiTMKM Mohon Tunggu... Tenaga Kesehatan - Praktisi dan Akademisi

BERTUGAS DI RUMAH SAKIT dr FAUZIAH BIREUEN BAGIAN KONSELOR HIV AIDS

Selanjutnya

Tutup

Diary

Kepiawaian

22 Februari 2022   00:15 Diperbarui: 22 Februari 2022   03:11 169
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ini kisah seorang penulis pemula yang terdampar di beberapa komunitas kepenulisan. Uji nyali dan mental baja serta belajar dari tokoh senior yang lebih dahulu menekuni dunia literasi. Kuncinya, jangan congkak dan sombong dalam menggapai impian. Jadilah ilmu padi, makin berisi makin merunduk, apakah masih berlaku ilmu tersebut di zaman kekinian ini? Entahlah!

Beberapa kali aku membaca kiriman tulisan tentang penulis dilarang baper (bawa perasaan). Aku sih, cuek aja dengan tulisan yang begituan. Terlintas dalam benak tentang baper yang di maksud mengenai alur cerita yang mengobok-ngobok perasaan. 

Namun, lain pula setelah auto membaca dan memaknai kata-perkata ternyata baper di sini sama halnya seperti yang pernah ku alami.

Intinya, penulis dilarang baper, saat tulisannya diacuhkan oleh netizen, bahkan tanpa ada yang peduli, tak pernah melirikpun sebagai dukungan apalagi meninggalkan jejak dari pembaca. Penulis harus bisa meredam perasaan yang berkecamuk, kecewa, sedih dan merasa putus asa.

Awal mula aku terkena syndrom dari baper, yang mana teman-teman tak pernah saling menyapa bahkan bertanya kabar. Padahal aku udah nyamperin loh? Jujur ya, saat itu aku baper banget. Walaupun demikian, sah-sah saja kalau aku baperan, keadaan seperti itu tidak boleh dibiarkan berlarut-larut. Segera move-on jangan sampai terpuruk di suatu kondisi yang membuat penulis stuck di lubang yang buntu tanpa solusinya.

Beberapa hari yang lalu, dua hari berturut turut Author membaca artikel penulis senior dan terkenal itu, yang membahas keterkaitan tentang  larangan baper yang merugi. Dalam dunia kepenulisan tidak perlu memandang jumlah Viewer, ngelike atau komentar yang meremehkan Author. Juga jangan tersanjung bila ada yang memuji dan menyanjung tentang tulisanmu. Belum tentu tulisan itu berkualitas, bisa saja kondisi riil berbeda. Mereka cenderung hanya membuatmu senang tanpa pernah membaca isi tulisan tersebut. Sah saja kan? Kedua rasa ini hanya penulis sendiri yang bisa menetralisirkannya.

Jangan marah bila ada yang mengoreksi tulisanmu, dengan demikian kamu akan lebih terasah dan bermutu. Kritikan membangun itu sangat perlu, ibarat beasiswa gratis sarat ilmu. Namun, abaikan kritikan yang membunuh karakter dengan cara tidak sehat, karena lazim setiap kritikan itu akan ada solusinya. Bukan kritikan asal-asalan menyampah seperti membuang muntah. Ouh my God, sorry netizen ya?

Disini penulis berpedoman dari segi kebermamfaatan sebuah tulisan dan amal jariyah kita. Penulis dituntut mental yang kuat dan lebih tahan banting dalam menghadapi berbagai dampak yang timbul.

Aku mencoba move-on dari kebaperan itu. Berjuang untuk bertahan di dunia kepenulisan, ini merupakan modal dasar bagi penulis untuk lebih exist di dunia literasi. Jangan pernah goyah oleh dunia luar yang mencoba menjatuhkanmu.

Aku pernah dinasehati oleh si mbak penulis di salah satu group kopi sastra. Dia adalah temanku sesama penikmat sastra, meskipun usianya jauh lebih muda. Mba Nanda dunia literasi itu kejam lho! jangan nanti Mba depresi atau frustasi dengan ulah pembaca yang mem-bully mengkritisi dan mengkasari tulisan mba Nanda. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun