Mohon tunggu...
Nancy S Manalu
Nancy S Manalu Mohon Tunggu... Lainnya - I am K-lover

To understand yourself, write

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

4 Pesan Moral Perihal Autisme dalam Film "Innocent Witness" (2019)

7 April 2022   10:04 Diperbarui: 7 April 2022   10:07 1148
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto dari viewofthehearts.com


  • Putraku tersayang, aku hampir lupa hari ulang tahunmu. Terimakasih sudah dilahirkan. Kau telah menjadi sukacita sejati dalam hidupku. Saat kau berusia 16 tahun, kau memberitahuku kau ingin menjadi pengacara. Dengan wajah penuh semangatmu, kau berkata, 'Aku ingin berbuat baik'. Aku begitu senang hingga buang angin. Bukan senang karena kau ingin menjadi pengacara, tapi karena aku tahu telah membesarkanmu dengan baik. Setelah menjalani hidup ini, aku mendapati bahwa hidup tak selalu cerah dan manis. Dunia tidak berperasaan dan penuh kemunafikan. Kita membuat kesalahan dan sangat menderita. Namun tetap saja, lupakan semua yang telah kau lalui. Tak ada orang yang tak pernah membuat kesalahan. Aku hanya ingin kau mencintai dirimu sendiri. Karena hanya dengan begitu, kau bisa mencintai orang lain.

Ini menjadi salah satu film yang berkesan bagi saya. Akting yang memukau dari para pemain, sarat akan pesan moral, dan menambah literasi saya tentang autisme serta dunia hukum. Disutradarai oleh Lee-han, dibintangi oleh aktor senior Jung woo-sung dan aktris pendatang baru Kim Hyang-gi. Film ini menceritakan tentang kehidupan seorang pengacara yang kerap mengalami dilema dalam dirinya dan kini harus berhadapan dengan sebuah kasus yang tak biasa. Seorang pengacara miskin namun berdedikasi bernama Yang Soon-ho, bekerja di sebuah firma. Ketika suatu saat ditugaskan untuk menyelesaikan sebuah kasus kematian akibat sesak nafas. 

Adalah seorang pria tua berusia 80-an tahun yang menderita insomnia dan depresi ditemukan tewas di kamarnya dengan sebuah kantong plastik menutupi kepalanya. Saat kejadian itu, pria tua tersebut ditemukan bersama asisten rumah tangganya, seorang wanita paruh baya bernama Oh Mi ran yang telah lama bekerja di rumah itu. Miran ditetapkan sebagai terdakwa atas peristiwa tersebut, karena banyak sidik jarinya ditemukan di kantong plastik. Miran berdalih bahwa dia panik dan hanya berniat ingin menolong majikannya tersebut yang ingin bunuh diri. Sebagai pengacara terdakwa, Soon-ho berusaha membuktikan bahwa Miran tidak bersalah. Soon-ho mengumpulkan barang bukti dan satu-satunya saksi kunci yang melihat kejadian tersebut adalah seorang remaja perempuan berusia 15 tahun yang menderita autisme, bernama Ji-woo. Jendela kamar Ji-woo tepat berseberangan dengan kamar si pria tua tersebut. 

Untuk dapat menuntaskan kasus ini, Soon-ho berusaha mendekati Ji-woo, menemuinya di sekolah, di rumah, mendalami tentang autisme sehingga keduanya bisa menjalin persahabatan manis. Film ini, walaupun tidak melibatkan banyak peran, namun sangat menyentuh sisi humanis kita. Beberapa pesan moral yang diperoleh dari film ini, seperti;

1. Walaupun berbeda, jangan memandang remeh orang lain termasuk penderita autisme,

Ji-woo adalah anak yang cerdas. Saya terkagum dengan kemampuaanya berhitung, mendengar, memecahkan teka-teki. Yang dialami Ji-woo sedikit berbeda dengan autisme. Dikutip dari Alodokter, pada autisme, penderitanya mengalami kemunduran kecerdasan dan penguasaan bahasa. Sedangkan pada Sindrom Asperger, seperti yang dialami Jiwoo, penderitanya cerdas dan mahir dalam bahasa, namun tampak canggung saat berkomunikasi dengan orang di sekitarnya. Ingat, saat adegan ibu Jiwoo bercerita pada Soon-ho, ketika usia setahun di saat anak seusia tersebut hanya bisa berkata 'mama', 'papa', Ji-woo sudah bisa mengatakan kalimat pertamanya, 'ibu, tolong ganti popokku'.

2. Autisme bukanlah gangguan mental.

Sindrom Asperger yang merupakan golongan spektrum autisme sangat berbeda dengan gangguan mental. Masyarakat umumnya kerap masih merasa 'aneh' dan menghindari golongan ini. Pada salah satu bagian sidang pengadilan di film ini, saya turut sedih tatkala membayangkan di posisi Ji-woo dan ibunya ketika pengacara mengatakan Ji-woo mengalami gangguan mental, padahal kita yang tidak memahami cara berkomunikasi dengan golongan autisme ini.

3. Keberanian

Ji-woo yang masih remaja ditambah dengan kondisinya yang demikian, menghadapi sidang pengadilan sebagai saksi utama tentu bukan perkara biasa dan mudah. Sedangkan pada remaja normal saja, ini pastinya sulit dihadapi. Ji-woo, bahkan yang awalnya mendapat prasangka buruk di pengadilan, namun memilih kembali bersaksi untuk menyatakan kebenaran padahal sebelumnya juga sudah mendapat tekanan dan ancaman dari terdakwa. Luar biasa, bukan?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun