Mohon tunggu...
Nanang E S
Nanang E S Mohon Tunggu... Guru - Orang yang tidak pernah puas untuk belajar

Penggiat literasi yang mempunyai mimpi besar untuk menemukan makna dalam hidup.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Tamasya Sepiritual dalam Kumpulan Puisi "Jalan ini Rindu" Karya WAA Ibrahimi

29 September 2017   23:48 Diperbarui: 30 September 2017   00:46 2255
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

/1/

Pendahuluan

Bagi penikmat jalan makna, jejak kehidupan serupa tamasya sepritual, di dalamnya mengandung seperangkat makna dan pelajaran berharga. Bahkan serupa sekolah, yang hakikatnya telah menggurita ilmu. Seperti salah satu ungkapan motivatif, Roem Topatimasang, "Setiap tempat adalah sekolah dan setiap orang adalah guru". Boleh dikatakan setiap jengkal langkah dalam kehidupan ini adalah ilmu. Bahkan dalam budaya Jawa sering disebut ilmu lelaku, yang (maaf) ini lebih mentes ketika taraf pemaknaan merasuk di dalamnya ketimbang pendidikan formal.

Sampai-sampai Seno Gumirah Aji Darma, dalam dunia sastrawannya mengungkapkan setiap inci gerak hidup ini adalah makna. Orientasinya bisa menyeluruh ke hal yang positif; menyadarkan, mengingatkan, juga menghargai kehidupan. Pemaknaan ini jika dimasukkan dalam sebuah cerita pendek (cerpen) bisa menjadi semacam roh yang menggerakkan, tidak saja fikiran tetapi juga hati.

Di bidang puisi barangkali kita kenal macam Wiji Tukul, Taufik Ismail, Rendra, Ahmadun Yosi Herfanda, Mustofa Bisri, Sapardi Djoko Damono dan lainnya yang juga sebagai pengagum jalan makna. Mereka menyuarakan sendi kehidupan dalam sajak-sajak yang beraroma; filsafat, sosialis, realis, transdental dan sepiritual dengan gaya-gaya renyah, imajinatif, surealis, bahkan maknawi. Tidak untuk besar-besaran, agar terkesan lebih mendalam. Melainkan hati mereka yang dalam, sejatinya empatifnya terpatri pada pemaknaan yang kuat. Bahkan, titik (bagian terkecil) pun bisa dimaknai. Bahkan sastrawan Sutejo mengejewantahkan, angin sekalipun secara wujud susah dilihat mampu menjadi seperangkat maka yang tidak sedikit mampu menyadarkan pembaca. 

Dibanding dengan cerpen, memahami puisi kirannya membutuhkan seperangkat kemampuan daya empatif. Sebab puisi menurut Rachmad Djoko Pradopo unsur-unsurnya lebih lengkap dan padat daripada prosa, seperti bunyi, irama, pembagian irama, pemilihan kata-kata, kominasi kata, bahasa kiasan, dan gaya bahasa (1997:62). Terlebih bagi penikmat jalan makna, membaca puisi seperti memasuki gudang makan. Setiap kata, bahasa, irama, bunyi adalah nilai yang menjalar makna tertentu. Puisi bisa menjadi semacam jaring makna yang simpul menyimpul antara diksi satu dengan diksi yang lain.

Meskipun puisi dalam tataran karya sastra sulit didefinisikan dengan jelas. Muncul bermacam definisi dan rumusan puisi disampaikan oleh kaum kritikus sekaligus teoretikus sastra dengan ruang pandang yang berbeda-beda. Alhasil, tidak ada satu pun definisi yang dapat memuaskan semua pihak, mengenai apa itu puisi. Bahkan jika dirunut lebih dalam setiap kepala telah merumuskan konsep puisinya sendiri-sendiri. Sampai kemudian kelompok the new criticism Amerika melontarkan definisinya yang justru malah mengundang tanda tanya.

Namun, dalam kesempatan ini kita tidak mempersulit diri untuk mencari definisi yang memuaskan banyak orang. Melainkan bertamasya ke samudra makna yang terdapat dalam puisi, kirannya ini lebih penting untuk semua orang. Seperti pengalaman Arswendo, bisa menjadi penyulut gerak hidup, atau Chairil Anwar mejadi bara api untuk mendapatkan cinta Neng Sri, dan Nurel Javisyarqi sebagai ikatan janji suci saat meminang Sang Istri. Hakikat tamasya sendiri tidak lain pergi untuk menikmati pemandangan. Lantas pemandangan apa yang diperlihatkan dalam sebuah puisi?.

Puisi Jalan ini Rindu,karya W.A.A. Ibrahimi, salah satunya. Ketika membaca puisinya, pembaca seakan diajak untuk tamasya jauh ke pemandangan sepiritual yang begitu indah. Aroma sufistik, religius, maknawi, konotatif, imajinatif, terlebih realis tersuguh seperti bongkahan gunung dengan sederet pepohonan yang rindang. Tidak hanya menyejukkan mata, tetapi juga hati dan pikiran. Kenapa sepiritual? sebab dalam puisi ini secara umum semacam kitab perjalanan kehidupan. Ia tidak saja memaknai kehidupan tetapi mengapa hidup itu bermakna.

Terlepas dari pengertian puisi yang semakin membelenggu pikiran. Sepritual, dilihat melalui prosesnya begitu mendalam. Tidak hanya jadi dalam waktu sekali duduk, melainkan ada alur waktu yang panjang. Semacam kitab, puisi Jalan Ini Rindutelah membawa seperangkat anonim keilmuan yang mendalam.

Dalam perkembangan mutakhir, bagi embrio awam membaca puisi seakan membaca sesuatu khasanah purba, sebab kini puisi beridentitas kuno dan menjadi sesuatu yang dipertanyakan "untuk apa", bahkan menyandang identitas "lebay", dan "tidak berguna".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun