Mohon tunggu...
Nanang E S
Nanang E S Mohon Tunggu... Guru - Orang yang tidak pernah puas untuk belajar

Penggiat literasi yang mempunyai mimpi besar untuk menemukan makna dalam hidup.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sepotong Bibir dalam Dompet

25 Februari 2017   17:43 Diperbarui: 25 Februari 2017   17:56 239
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ini kekasihku, maukah kau kuracuni manis bibirku (pinterest.com)

Aku mendengarkan Tuan melalui telepon genggam semalam, kudengarnya dari awal sampai akhir. Saat Tuan tengah berseteru dengan istrinya. Memukuli Istrinya sampai terdengar teriakan dan senggukan tangisan sang istri dari telepon genggam itu. Maaf aku menyimak sampai akhirnya terdengar Tuan atau entah istrinya melempar sesuatu yang pecah, setelah itu suara-suara mereka menghilang. Aku sempat diam dan menyimak betul-betul, saya kira mereka telah berdamai dan berpelukan seperti film telenovela.

Sampai waktu benar-benar sangat sunyi, hanya suara dengung dan desisi angin yang terdengar dari dalam telepon genggam saya. Aku sampai terbawa untuk diam dan tertidur sesaat, suara desisan itu benar-benar mengingatkan malam, sunyi dan sangat sejuk. Tapi aku merinding juga saat mendengar perseteruan Tuan sebelum diam itu, segala umpatan, segala ucapan kasar dan segala-galanya yang jelek terdengar malam itu. Awalnya ku kira itu bukan apa-apa. Atau Tuan lupa meletakkan telepon genggamnya di sampan televisi dan itu hanya suara acara sinetron saja. Tapi aku berfikir bukan, karena suara itu tidak layak untuk ditayangkan dalam sinetron. Bukannya sinetron juga harus bersifat mendidik? Maka dari itu suara jorok sepeti itu tak lulus sensor perfileman. Begitulah, aku sampai mereka-reka suara itu, sebelum sampai aku benar-benar yakin itu pertikaian Tuan dengan istri Tuan.

Aku tak berani mematikan teleponnya, bangaimanapun mematika telepon tanpa ijin atasan, saya kira tidak sopan. Meski saat aku mendegar suara itu lebih tidak sopan lagi. Entahlah, aku hanya mendengarnya seperti drama radio yang berakhir sunyi. Ceritanya sangat pasaran sekali, itu kerap dipertontonkan di filem-filem sinetron, bedanya hanya umpatan. Dalam suara telepon itu umpatan seperti menginjak-injak gendang telingaku, namun sinetron lebih menyimpan umpatannya.  Setelah sekitar setegah jam kemudian, telepon Tuan semakin mendeging, ada suara timbuk sebelumnya. Aku tau, Tuan pasti melempar teleponnya ke kasur atau sofa. Aku tetap saja diam, masih tak berani mematikan telepon. Terdengar suara benda diseret dari dalam telepon, kemudian sunyi kembali. Sebentar kemudian kembali terdengar suara benda tumpul mengantam benda keras lainnya. Waktu itu terjadi tengah malam, sekitar pukul sepuluh malam. Awalnya Tuan  menelpon untuk mengintruksikan kepadaku, mengerjakan arsip administrai kantor. Ia menjelaskan mengenai struktur penyusunanya. Namun, ditengah-tengah penjelasannya Tuan menyuruhku diam sebentar dan suruh menunggunya. Ku iyakan permintaannya. Sampai saat ini, Tuan belum mengangkat teleponnya kembali dan meneruskan menjelaskan struktur penyusunan administrasinya.

Hampir dua jam aku menunggu, ia belum mengangkat teleponnya. Aku masih mendegarnya suara-suara aneh, seperti orang mencangkul. Sepertinya ia masih sibuk memendam sampah di dalam tanah atau membuat lubang untuk menanam bunganya. Karena kemarin aku lihat Tuan membeli sepasang anak bunga melati di depan kantor. “Tapi, kenapa Tuan menanamnya di tengah malam seperti ini?”, Tanyaku dalam hati.

Aku semakin jenuh menunggu teleponnya, kuletakkan gagang telepon di meja dan kutinggal membuat secangkir kopi. Kemudian kembali aku angkat telepon itu. Masih belum ada suara. Masih sunyi, hanya suara desis dan dengung dari dalam telepon. Sesekali aku menyeruput kopi dan menyandarkan kepala di kursi sofa. “Hallo,, Tuan, masih di sana?” Sapaku memberanikan diri memanggilnya. Masih belum ada suara, “Tuan,,,,halllloooo Tuan. Masih dengar saya?” Lanjutku  kembali menyapa teleponnya yang hampir tiga jam hanya mendengung saja. Aku yakin teleponnya masih aktif. Karena masih terdengar suara-suara aneh dari dalam teleponnya. Setelah itu aku kembali mendegar suara decit pintu dan tetesan air di sekitar telepon. Sekitar setengah jam suara itu mneyeruak, kemudian aku kembali mendegar seperti Tuan meraih teleponnya “Hallo…” Ucapku, seketika telepon dimatikan.

***  

Keesokan harinya, aku lihat Tuan berjalan tak biasanya. Biasannya ia selalu datang bersama istrinya yang satu kantor dengannya. Tuan menjadi bosnya, sedangkan istrinya menjadi bos kedua –atau wakil bos-. Cocok sekali, sampai aku bercita-cita ingin sepertinya. Mempunyai usaha besar tapi tetap bersama istrinya. Pagi itu aku segera menghampirinya yang baru keluar dari dalam mobil.

“Selamat pagi Tuan" Sapaku dengan senyuman.

“Pagi” Jawabnya singkat.

“Semalam saya menunggu Tuan sampai larut malam, tapi akhirnya Tuan malah mematikan teleponnya.” Jelasku mengenai keadaan semalam. Kami bercakap sambil berjalan menuju ruangan Tuan di lantai dua.

“Dilanjutkan nanti malam saja.”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun