Mohon tunggu...
Nanang Ardianto
Nanang Ardianto Mohon Tunggu... Pelajar/Mahasiswa -

21 y.o | LMG | (FPK) Airlangga University '14

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mudik, Fenomena Sosial Indonesia yang Mendidik dan Menggelitik

21 Mei 2018   19:35 Diperbarui: 21 Mei 2018   21:51 581
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Saat kita mudik kita dapat menilai perubahan pada jalan-jalan nasional hingga jalan-jalan alternatif sekalipun. Sudahkah mulus? Sudahkah memenuhi kapasitas jalan ideal? Sudahkah memanjakan pengguna jalan? Jangan-jangan jalur transportasi kita pun berbanding lurus dengan monotonnya pembenahan pada alat-alat transportasi pilihan yang penulis bahas diawal.

2. Kedua, Mudikmu kemana? Adakah kesenjangan pada lokasi awal dan akhir mudikmu? Bagaimanapun, mudik adalah suatu kegiatan yang bergerak aktif dan tidak stagnan pada suatu lokasi saja. Dari sini kita dapat menelaah betapa besar kecilnya kesenjangan dari lokasi awal keberangkatan mudik, lalu lokasi-lokasi yang dilalui dalam proses mudik, hingga lokasi akhir tujuan mudik kita. Secara kasat mata dan jelas dapat dipastikan banyak perbedaan sarana prasarana antardaerahnya.

Ada kalanya kita melewati daerah yang memanjakan mata, ada kalanya pula kita melewati daerah yang membuat sakit mata (alias banyak kekurangan-kekurangan). Jika mudik hanya sekedar mudik tanpa ada sedikit dorongan pemikiran seperti poin dua ini menimbulkan keapatisan masyarakat kita terhadap kemajuan pembangunan suprastruktur dan infrastruktur di masing-masing daerah yang telah kita lihati dan lewati.

3. Ketiga, Mudikmu untuk siapa? Mudikmu untuk apa? Mudikmu berharga? Kebingungan-kebingungan terkait orientasi mudik adalah ketidaktepatan yang harus diperbaharui secara pendekatan sosial kultural. Idealnya mudik menjadi kabar pada semua yang hendak dikabari. Lantas cukupkah hanya kabar dan kelakar? Tidak. Andai saja mudik adalah sebuah laporan pertanggungjawabn dan progress Kita dari daerah perantauan.

Maksud penulis mudik ke kampung halaman dapat digunakan sebagai sarana untuk saling membandingkan dan merefleksikan pencapaian-pencapaian yang telah kita usahakan selama setahun kemarin. Pembaharuan atas berbagai kekurangan selama bertahun-tahun menjadikan motivasi untuk setahun kedepan menapaki kehidupan sehari-hari dan menyambut mudik lagi setahun mendatang dengan gairah yang lebih segar.

Jika secara fakta Kita tidak menunjukkan peningkatan berbagai hal saat bertemu dengan berbagai pihak di kampung halaman justru "struggle of life"-mu dipertanyakan. Hal sederhana semacam ini dapat memberikan suntikan pemahaman secara kultural sehingga mudik dianggap sebagai hal esensial yang penuh dengan persaingan pada hal-hal positif, bukan terbatas pada hiruk-pikuknya hal-hal teknis.

Mudik Mendidik

Tidak ada suatu kejadian berharga jika tanpa adanya pembelajaran dan pemahaman. Dari mudik kita belajar banyak hal mengenai hijrahnya kondisi sosial hingga dinamisnya masyarakat Indonesia. Seharusnya lecutan semangat mudik harus tetap ada di musim-musim lain selain lebaran.

Penulis berpendapat, mudik yang produktif adalah mudiknya mereka yang tidak hanya mendambakan silaturahim semata, namun juga mereka yang memiliki pertimbangan atas kesenjangan-kesenjangan selama mudik dilalui serta keinginan peningkatan kuantitas kualitas diri setiap detik, menit, jam, hari, minggu, bulan, dan tahun selanjutnya.

Dapat kita bayangkan betapa banyak jiwa raga yang berjalan lewat satu niat baik menuju kerinduan pada kampung halaman yang berbeda-beda secara bersama-sama di jalanan. Secara sangat wajar timbullah rasa solidaritasantarpemudik sebagai spontanitas yang manusiawi. Mudik mengajarkan Kita bahwa kerinduan yang hakiki adalah rasa kangen yang dilandasi pada keridhoan menapaki pulang kampung tanpa dibumbui beban-beban rutinitas sehari-hari. Semua seakan hilang dan sengaja dihanguskan agar menikmati sebenar-benarnya makna mudik, lebaran, dan hari yang fitri.

Terakhir, penulis selalu terharu biru melihat fenomena mudik yang (mungkin) hanya terjadi di Indonesia sebagai basis massa agama Islam terbesar di dunia mampu memperlihatkan ukhuwah islamiyah dan ukhuwah wathoniyah di musim-musim seperti ini. Penulis berharap budaya mudik semakin bernilai esensi dan tidak cacat secara kultural sosial sebagai salah satu dari banyaknya ciri khas bangsa ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun