Mohon tunggu...
Nanang Sumanang
Nanang Sumanang Mohon Tunggu... Guru - Guru Sekolah Indonesia Davao-Filipina

Saya Lulusan Aqidah Filsafat Fakultas Ushuluddin IAIN Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Music Pilihan

Bram (Kelompok Kampungan) Makahekum

4 Februari 2021   12:09 Diperbarui: 4 Februari 2021   12:26 1488
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Musik. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

BRAM (KELOMPOK KAMPUNGAN) MAKAHEKUM
Oleh: Nanang Sumanang, Guru Sekolah Indonesia Davao

"Hidup ini tidak bisa untuk tawar dan menawar. Hidup itu kenyataan sekarang, kerja kita hari ini untuk kenyataan mendatang"

                                                                                                   (Ratna, Bram Makahekum)

Bagi sebagian remaja tahun 80-an yang datang dari keluarga pra sejahtera, syair di atas yang merupakan bagian dari lagu Ratna-nya Kelompok Kampungan Jogja bagaikan jimat. Bagaimana tidak, selain syairnya gagah, syair tersebut memberikan kekuatan besar untuk berani menatap hidup dan melawan keputus-asaan dalam menghadapi masa depan.

Awal mengenal Kelompok Kampungan Jogja dari stasiun radio ARH yang berlokasi di Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Di radio yang diasuh oleh Zainal Abidin Suryokusumo dan Atty Nurly sering sekali memutar lagu-lagu "Aneh". Selain lagu dari Kelompok Kampungan, ada Gombloh dengan Lemon Trees anno 68, Franky and Jane, Johny Sahilatua denga Sengketa Keraton Demaknya,  juga lagu-lagu lainnya.

Melalui Amir Daulay, saya mendapatkan no hp Bram Makahekum. Pada saat itu saya cuma sms-an atau bertelpon saja, karena belum ada whatsapp. Dalam beberapa kali pertemuan dengan mas Bram, juga dialog lewat telepon, saya banyak mendapatkan pelajaran hidup, sehingga kekaguman dan penghormatan saya terhadap mas Bram semakin tinggi

Di tengah semaraknya lagu-lagu pop melankolis, serta lagu-lagu rock, Kelompok Kampungan Jogja lahir dengan aliran tersendiri. Agak sulit untuk mendefinisikan musiknya, dan memang mas Bram sebagai pimpinan Kelompok Kampungan tidak ingin mengotak-ngotakan musik yang membelenggu kreatifitas manusia. "Alam... lepaskan aku dari kotak-kotak kebudayaan yang menjadi beban kehidupan ini...." Jeritnya dalam lagu Mencari Tuhan.

Kelompok Kampungan Jogja tidak bisa dilepaskan dari sosok Bram Makahekum, seorang seniman dari Nusa Utara (Sangir). Datang dari keluarga yang terhormat, karena alm bapaknya adalah seorang hakim pertama di Sulawesi Utara. Remajanya dihabiskan di Manado, kemudian pindah ke Surabaya mengikuti perpindahan tugas ayahandanya yang ditugaskan sebagai hakim di Surabaya. Ketika kuliah di Jogja, lalu mas Bram masuk Bengkel Teater Rendra.

"Gila...saya ini orang kaya, tapi waktu saya masuk Bengkel Teater, kerja saya setiap hari dari  bangun tidur hanya menyapu, dari mulai kamar, sekeliling kamar, rumah dan seterusnya, dan itu berlangsung selama dua tahun..." Ujarnya ketika menceritakan awal mas Bram masuk menjadi anggota Bengkel Teater. Ternyata ajaran/ laku dalam Bengkel Teater ini membentuk pribadi mas Bram yang tangguh, sadar akan dirinya, akan ruang, dan akan waktu. Laku tersebut juga membentuk untuk cepat merespon, dan membunuh kemalasan dengan daya juang. Selain berteater, mas Bram juga menjadi anggota PGB Bangau Putih, sebuah perguruan silat yang banyak mengajarkan gerakan lentur dengan pernapasan yang bagus.

Kesenangannya berteater mengakibatkan kuliahnya menjadi berantakan. Mas Bram lebih senang berlatih teater di Bengkel Teater Rendra, karena disana ditumbuhkan jiwa berkompetisi sesama anggota, berkreatifitas, berpikir kritis, belajar dengan penuh kemerdekaan, daya juang, dan demokratis. Di Bengkel Teaterlah mas Bram bisa menulis puisi, lirik lagu dan bermusik, sehingga dipercaya oleh WS Rendra menjadi "perawat" Nyai Pilis, seperangkat alat musik gamelan dan sebagainya yang biasa dipakai untuk pementasan Teater.

Selain tempat berlatih teater, Bengkel Teater juga sering mengundang dan dikunjungi oleh tokoh-tokoh yang kritis terhadap pemerintahan Orde Baru untuk berdiskusi bersama-sama.

"Lagu Ratna itu saya ciptakan karena saya kagum pada seorang aktifis wanita bernama Ratna. Dia mahasiswa ITB Bandung, yang diundang oleh mas Willy untuk berdiskusi dengan kami. Dalam kereta ke Jogja, Ratna masuk ke restorasi kereta dan menaruh obat tidur di tempat minum untuk penumpang, dan ketika semua penumpang tidur lelap, Ratna menaruh pamplet tentang kebobrokan Orde Baru di badan penumpang satu persatu" Cerita Bram tentang latar belakang lagu Ratna. "Sejak saya mengantar Ratna ke Jakarta, saya tidak pernah mendengar kabarnya lagi" ujar Bram sambil tersenyum.

Tahun 1980an Orde Baru sedang sangat hebat-hebatnya berkuasa, semua yang berbau Sukarno "harus lenyap" dari bumi Indonesia. Bagi mas Bram, Sukarno adalah manusia biasa, sama dengan para pahlawan di dunia lainnya, ada kelebihan dan kekurangannya. Tidak ada manusia yang sempurna, maka lahirlah lagu Bung Karno, dimana suara pidato Bung Karno pada Maulid Nabi Muhammad SAW "ditempelkan" sebagai pembuka lagu. Mas Bram mendapatkan kaset pidato Bung karno tersebut ketika membaca Surat Pembaca Tempo, dimana ada seorang mahasiswa butuh uang Rp 1.500 untuk biaya kuliah dan ujiannya. Apabila ada yang mengirim uangnya, maka kaset pidato Bung Karno akan diserahkan kepadanya.

Hubungan Rendra dengan semua lapisan masyarakat sangat baik, termasuk KH Sholahudin Wahid (Gus Sholah), pengasuh PP Tebu Ireng-Jombang, yang kemudian menjadi Penasehat Kelompok Kampungan Jogja. Ketika mas Bram membuat lirik lagu Hidup Ini Seperti Drama, mas Bram mengkonsultasikannya secara intens kepada Gus Sholah, dengan diskusi yang panjang dan cerdas, akhirnya kata Tuhan bermain drama, tidak dimasukan, karena menurut Gus Sholah kalau Tuhan bermain drama, siapa sutradaranya?

Konsep bermusik mas Bram sangat sederhana. Konsep bermusiknya adalah segala sesuatu yang berbunyi, bisa apa saja, yang penting menghasilkan suara/ bunyi. Suara angin, suara air mengalir, suara jangkrik atau serangga yang menyerupai sebuah symphoni dalam orchestra besar alam raya, adalah musik yang sangat indah sekali. Sedangkan nama Kampungan adalah sebutan orang kota kepada orang-orang kampung, yang karena kebijakan pemerintah saat itu mengharuskan orang-orang kampung untuk keluar dari kampungnya menuju kota. Karena kurang ketrampilan, dan ilmu pengetahuan, serta ketidak-siapan dalam menghadapi kehidupan kota, akhirnya orang kota menyebutnya dengan panggilan kampungan. Bagi mas Bram, nama kampungan itu bukannya jelek, karena mereka dipaksa untuk keluar dari kampungnya akibat kebijakan pemerintah saat itu, bukan atas kesadaran dirinya sendiri. Dengan alasan itulah kemudian mas Bram menamakan kelompoknya menjadi Kelompok Kampungan Jogja.

Berawal dari kesukaannya bermusik di Bengkel Teater, belajar secara otodidak, lalu bertemu dengan teman-teman yang mempunyai latar belakang pendidikan bermusik (akademisi) mas Bram membentuk kelompok ini. Untuk mengasah ketajaman bermusiknya, Bram dan teman-temannya mengamen di Malioboro, selain memainkan lagu karangannya sendiri, juga mereka bisa dengan sangat baik memainkan lagu-lagu barat yang sedang ngetrend saat itu.

Bagi mas Bram, bermusik adalah panggilan jiwa, bukan untuk terkenal atau kaya Mengutip Taufik Abdullah "Pahlawan itu adalah Mitos. Karena tidak ada pahlawan itu ketika bertindak/ berbuta dengan niat ingin menjadi pahlawan". Mas Bram juga begitu, yang penting adalah berkarya, masalah kemudian karyanya dalam album Mencari Tuhan direkam oleh Akurama Record (1980) dan mendapatkan pujian dari para pengamat  music, itu hanyalah akibat saja. Bahkan Iwan Fals sampai menulis sebuah lagu karena kekagumannya kepada sosok Bram Makahekum "Untuk Bram". Mas Bram tetaplah Bram yang sangat rendah hati. Ketika Denny Sakrie (pengamat musik) menghubunginya dan mengatakan bahwa Jason Connoy pendiri label Strawberry Rain Canada ingin merilis album Mencari Tuhan, Bram malah mengatakan "Hah? Album kayak gitu kok ada yang mau rilis Bule lagi" (Denny Sakrie).

Selain mendapatkan keberuntungan dari rekamannya, mas Bram dengan Kelompok Kampungannya juga mendapatkan "Kesulitan" karena dengan gagah beraninya menampilkan Bung Karno, dan kritik sosial dalam lagu-lagunya. Rekamannya sempat dilarang diputar di radio-radio, pementasannya sering kali dibatalkan oleh pihak keamanan, kadang-kadang harus kucing-kucingan dengan pihak keamanan. Saat itu adalah jaman dimana kebebasan berekspresi dan berkreatifitas sangat dibatasi. Tapi daya juang dan semangat hidup, serta kreatifitas yang didapat dari Bengkel Teater tidak bisa ditaklukan oleh kekuatan apapun.

Ketika Reformasi bergulir, penggantian presiden terjadi, terdengar kabar bahwa lagu Bung Karno akan dibeli hak ciptanya dengan harga yang cukup tinggi, tapi mas Bram tidak mau. "Biarlah lagu itu untuk bangsa Indonesia, bukan untuk suatu golongan tertentu"

Kesederhanaan hidup Bram Makahekum yang sekarang lebih sering di Jogja, dan hubungannya yang sangat luas dengan berbagai lapisan masyarakat kiranya menjadi contoh bagi musisi dan artis sekarang. Kini beliau sampun sepuh, dan dalam keadaan sakit lambung serius, kita doakan semoga mas Bram tetap sehat wal afiat, penuh keberkahan dan kemuliaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Music Selengkapnya
Lihat Music Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun