Mohon tunggu...
Nana Marcecilia
Nana Marcecilia Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - Menikmati berjalannya waktu

Mengekspresikan hati dan pikiran melalui tulisan

Selanjutnya

Tutup

Hobby Artikel Utama

Mengapa Harus Ada Motif Menulis yang Spesifik?

15 Februari 2020   12:52 Diperbarui: 15 Februari 2020   17:00 515
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi motif menulis | Foto Solusi Website Bandung.com

Pernah mempertanyakan hal ini ga ke diri Anda sendiri?

Saya sendiri lagi bertanya-tanya, nih. Hehe. Karena membaca blog tentang pertanyaan maut, di mana si penulisnya ditanya, "Apa motif Anda menulis?".

Jawaban "ingin menyampaikan sesuatu", ternyata terlalu umum. Seharusnya seorang penulis yang ingin menjadi penulis yang baik bisa mendeskripsikan hal-hal yang sederhana. Caranya dengan latihan terus, sampai bisa mendeskripsikan hal-hal yang sederhana. Hmm, pertanyaan saya, mengapa motif menulis harus memiliki deskripsi yang lebih spesifik?

Sembilan bulan saya menulis di Kompasiana, dari yang pengetahuannya nol banget tentang menulis, sampai akhirnya banyak belajar. Dan belakangan, malah idenya jadi mampet. Hehe. Saya khawatir ide menulis saya lama-lama hilang.

Padahal sekarang saya memiliki keinginan untuk terus meningkatkan kualitas tulisan hingga bisa seperti Pramoedya Ananta Toer, Mochtar Lubis dan Goenawan Muhammad. Tulisan beliau-beliau begitu berbobot, tapi mampu menghipnotis pembaca, seperti saya yang termasuk dalam kategori malas membaca.

Beliau-beliau ini bisa membawa saya, yang malas membaca, bisa menikmati tulisan dari awal sampai akhir tulisan, tanpa skip halaman sekalipun. Bahkan setelah membaca pun, saya bisa mendapatkan hikmah dan manfaat yang saya petik. Tidak itu saja, tulisan mereka pun bisa saya tangkap intisarinya, dan terpatri dalam ingatan. Hehe. Karena saya tipe orang yang mudah lupa.

Bagaimana supaya bisa seperti itu? Hoho..  saya paham musti banyak belajar, membaca, memperhatikan dan tentu perlu jam terbang yang tinggi.

Nah, saya tertarik dengan komentar salah satu kompasianer yang mengatakan tulisan berkualitas sepi pembaca, sedangkan yang tulisannya biasa saja, malah ramai pembaca. Jawaban pun sempat terpikir pada saya, seharusnya kita bisa mengikuti selera pembaca. 

Tapi masalahnya, ada hal yang cukup membuat saya merenung, ada penelitian yang mengatakan mengapa kualitas tontonan di Indonesia semakin menurun, baik itu sinetron, konten YouTube ataupun hiburan lainnya. Hal ini dipicu oleh media mengikuti selera mayoritas penonton. Hmm... saya jadi bertanya-tanya, apakah benar selera kita itu semakin tidak berbobot?

Andai saya menulis, berarti saya musti ikut selera pembaca dong, yang lebih suka dengan konten politik, mistis, dan yang sedang tren. Sedangkan penguasaan saya di tiga topik tersebut bisa dikatakan terbatas. Tidak semuanya saya biasa kuasai. Tapi kalau saya menulis tentang hal lain, hmm.. ada yang mau baca ga ya? Walau menulis sekadar hobi, namun saya tidak bisa membohongi diri saya kalau saya ingin tulisan saya dibaca, bukan sekadar dilewati begitu saja.

Ketertarikan saya yang sebenarnya adalah Batik dan Budaya.

Dua hal tersebut membuat saya banyak belajar, ternyata setiap daerah memiliki filosofi yang dalam, dan kalau kita semakin mempelajarinya, ada banyak pelajaran yang bisa kita petik untuk kehidupan sehari-hari kita. Dan saya berkeinginan untuk membagikannya, siapa tahu semakin banyak orang yang kenal, maka akan timbul rasa cinta pada budaya bangsa, dan turut melestarikannya.

Akan tetapi, masalahnya, sekarang banyak media yang memuat bahwa generasi muda kita semakin meninggalkan budaya bangsa. Bahkan sejumlah acara yang saya hadiri, juga mengangkat bagaimana caranya supaya generasi muda bisa tertarik dan turut melestarikan budaya bangsa. Saya pun menjadi ragu, kalau saya menulis tentang Batik dan Budaya, bisa-bisa tidak ada pembaca sama sekali. Tapi saya sangat tertarik dengan kedua hal tersebut, bagaimana dong?

Namun ada fakta, yang membuat saya tersadar. 

Pengetahuan saya selama ini hanya berkisar di media dan acara yang saya hadiri saja. Kekhawatiran generasi pendahulu yang merasa generasi muda meninggalkan budayanya, bisa jadi hanya stigma saja. Sama seperti saya yang belum apa-apa sudah mencap anak zaman now terlalu berkiblat pada budaya Korea. 

Sedangkan saya sendiri sama sekali tidak beradaptasi dengan cara berpikir orang-orang yang usianya masih muda dan saya terpaku dengan aturan dan sistem cara penyampaian yang masih konservatif, yang bisa jadi tidak menarik bagi anak muda.

Hal ini saya dapatkan, ketika saya berkunjung ke Yogyakarta kemarin, mendengarkan obrolan anak dan ibunya, serta memperhatikan salah satu anak Zaskia Mecca yang masih berusia balita memiliki cita-cita menjadi dalang. 

Selain itu, saya juga mengikuti sosial media Sudjiwo Tedjo, budayawan Indonesia yang usianya mungkin sepantaran ibu saya. Konten dan caption-nya selalu terselip budaya, yang dikemas dengan kata-kata yang cukup nyeleneh. Namun, yang saya perhatikan, beliau mampu merekrut banyak anak muda untuk tertarik membaca bukunya, menonton teaternya, menikmati lagunya, yang pastinya tidak jauh dari budaya Jawa. 

Saya pun pernah menonton teater Rahwana Putih di YouTube. Kisah wayang yang dikemas dengan apik, dialognya pun menggunakan bahasa yang mudah dipahami, bahkan cenderung humoris. Penontonnya pun yang semuanya mahasiswa, dari tangkapan kamera, terlihat menikmati teater tersebut. 

Dari fakta-fakta ini, saya akhirnya berpikir bukan generasi muda yang tidak mencintai budayanya, malah mereka sangat berpotensi untuk mencintai budaya bangsa kita, bahkan akan lebih bisa mengembangkannya. Karena anak muda sekarang semakin kreatif dari masa ke masa. Akan lebih baik, bagi generasi pendahulunya bisa memasuki cara berpikir dan kebiasaan anak-anak muda, sehingga rasa cinta pada budaya bangsa terus berlanjut.

Nah, kesadaran ini, saya pun akhirnya terpikir, bahwa motif saya menulis tidak bisa hanya sekadar menyampaikan dan mengenal target pembaca, ataupun mengikuti selera pembaca. Saya harus bisa mengemas ide saya yang bisa membawa selera pembaca, dan pesan dalam tulisan pun bisa tersampaikan pada pembaca.

Jadi motif saya menulis sekarang lebih agak spesifik, yakni membagi informasi, sekaligus membawa pembaca berselera dengan ide tulisan saya. Bagaimana caranya? Hehe.. wis, belajar lagi. 

Dan saya pun menjadi paham, mengapa harus ada motif menulis yang lebih spesifik lagi. Dan siapa tahu akan muncul lebih banyak motif menulis yang lebih spesifik lagi, yang membuat kecintaan saya pada dunia menulis tidak pernah padam, kualitas tulisan saya pun bisa meningkat dan tetap dinikmati oleh pembaca. Semoga :D

Bagaimana dengan Anda? Apakah sudah memiliki motif menulis yang spesifik?

Salam :)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun