Mohon tunggu...
Nana Marcecilia
Nana Marcecilia Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - Menikmati berjalannya waktu

Mengekspresikan hati dan pikiran melalui tulisan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Sudut Pandang Lain dari Hadirnya Kerajaan Baru

22 Januari 2020   14:50 Diperbarui: 22 Januari 2020   14:55 457
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saat senggang, saya menonton ILC yang mengundang Rangga Sasana, salah satu bagian dari Panitia 17 Sunda Empire. Ia dijadikan narasumber, dan saya pun mendengarkan dengan seksama sejarah-sejarah yang ia katakan.  Lucu juga dan rasanya sangat menghibur. 

Orang-orang yang hadir disana, termasuk saya yang menonton, acapkali tertawa dan menggelengkan kepala saat mendengarkan Rangga menceritakan sebagian sejarah dunia seakan semuanya terjadi di Indonesia. Mendengar banyak yang tertawa, Rangga pun malah berkata, "Lho, jangan tertawa, kalau sampai Anda tidak tahu, Anda mestinya belajar lagi sejarah". Dan semuanya pun kembali tertawa.

Hanya Sujiwo Tejo yang dari awal sampai akhir penjelasan Rangga, beliau hanya mendengarkan dengan seksama, tanpa tertawa, bahkan menyunggingkan senyum sedikit pun tidak. Ketika beliau berbicara, saya pun menjadi terdiam.

Ternyata Sujiwo Tejo ini tidak tertawa dikarenakan beliau berusaha berpikir cara orang kerajaan melihat sistem demokrasi pada negara ini, yang katanya Republik, tapi kalau kita telaah dengan baik sistem sekarang ini tidak jauh berbeda dari sistem kerajaan, dan hal ini membuat saya memiliki sudut pandang baru, antara lain :

Perbedaan kelas

Dalam sistem kerajaan, ada perbedaan kelas antara bangsawan dan rakyat jelata. Dalam demokrasi ada perbedaan kelas antara kaya dan miskin, buktinya saat menjadi penumpang di pesawat ada kelas bisnis dan kelas ekonomi. Bagi yang tidak mampu membayar lebih, ya duduk dibangku kelas ekonomi. 

Perlakuan pun akan diberikan berbeda pada orang yang kaya dan miskin, tentu ini tidak berbeda dengan sistem kerajaan dimana perbedaan perlakuan juga terjadi antara bangsawan dan rakyat jelata. Kedua sistem ini sama-sama memanjakan dan memudahkan orang kaya dan bangsawan, dan cenderung "keras" terhadap rakyat jelata dan miskin. 

Jangan jauh-jauh kita bisa lihat contoh konkretnya Harun Masiku, sang koruptor yang dilindungi dengan ZA, rakyat jelata yang membela diri dari pembegalan dan perampasan. Atau dalam kejadian kehidupan sehari-hari kita, orang kaya atau terlihat kaya pasti akan mendapatkan pelayanan yang jauh lebih baik, daripada yang berpenampilan sederhana kan?

Sujiwo Tejo mengatakan, bila dirinya menjadi orang kerajaan, tentu ia sendiri akan tertawa melihat sistem demokrasi ini yang tidak jauh berbeda dengan kerajaan.

Pemujaan terhadap objek yang dipercaya

Saat zaman kerajaan, keris dan benda keramat lainnya yang sekarang ini kita anggap sebagai klenik, itu dipuja-puja dan dipercayai oleh para raja dan masyarakatnya, bahwa benda tersebut memiliki kekuatan, bahkan mereka harus memegang benda tersebut agar merasa lengkap dan aman. 

Kemudian apa bedanya dengan zaman sekarang ini yang menyatakan negara ini sudah demokrasi, pejabat dan rakyatnya saja juga berlomba mendapatkan barang-barang branded yang dianggap dapat menaikkan gengsi. Bukankah hal tersebut sama saja dengan memuja klenik, hanya dengan kategori yang berbeda?

Tentu kata Sujiwo Tejo lagi, bila ia membayangkan cara berpikir orang kerajaan, maka orang kerajaan pastinya akan heran "apa bedanya dengan zaman saya?". Hmm... benar juga. 

Sekarang hampir sebagian besar masyarakat berlomba memakai barang-barang bermerk. Tidak mesti asli, kualitas KW pun juga akan dibeli, supaya dengan terpampangnya merk-merk terkenal, gengsi kita pun akan lebih naik dalam lingkungan pergaulan. Dan pada akhirnya mengandalkan percaya diri kita pada barang yang bermerk tersebut, bukan lagi mengandalkan kapasitas dan kemampuan diri kita.

Sistem Kepemimpinan

Raja, selalu ditanamkan mindset bahwa negara adalah miliknya. Darahnya mengalir pada negara tersebut. Jadi ketika negaranya mengalami ancaman dari negara lain, contoh kejadian Natuna kemarin, bila itu terjadi pada kerajaan, maka seorang Raja akan langsung melakukan tindakan yang melindungi negara dan rakyatnya dari ancaman negara asing. Karena ia merasa negara dan rakyat adalah miliknya secara absolut dan tidak boleh ada yang mengganggu.

Berbeda dengan presiden dan pejabat-pejabat masa demokrasi, dimana para petinggi negara ini selalu dipilih dari sistem pemilihan umum. Pemilihan pun biasanya dilakukan oleh orang-orang yang belum tentu mengerti tentang politik. Artinya untuk mendapatkan jabatan di negara saja, setiap orang harus memperjuangkan dengan cara tertentu untuk dirinya sendiri, bahkan untuk mempertahankan jabatannya saja, orang-orang tersebut juga tetap harus memikirkan dan memperjuangkannya agar tidak lengser. Sehingga yang terjadi, perhatian untuk kedaulatan negara dan masyarakat, bisa saja terbagi.

Hmm... mungkin kita bisa lihat bagaimana banyak pejabat sekarang seperti tidak lagi memiliki ideologi mengenai negara kita, sekarang ini jabatan di negara hanya dijadikan sebagai profesi dan barang dagangan. Hal ini terlihat dari setiap adanya ajang pemilihan, harus memakai politik identitas dari masing-masing kubu, kemudian harus memakai isu-isu yang bisa memecah belah bangsa demi mendapatkan jabatan. 

Kemudian pilkada kemarin, terjadi fenomena banyak caleg yang gagal mendapatkan jabatan menjadi gila. Hal ini seperti menyadarkan saya, bahwa kedudukan jabatan politik sudah tidak lagi sakral untuk menerapkan ideologi negara, akan tetapi menjadi ajang untuk balik modal dan mendapatkan keuntungan dari jabatan tersebut. Jadi kedudukan hanya dianggap sebagai profesi dan barang dagangan. Kasus korupsi yang semakin marak belakangan, bisa menjadi bukti bahwa jabatan hanya untuk wadah untuk bertransaksi.

Jadi para pejabat saat ini (tidak semua) bisa dikatakan perhatian untuk mencintai negara dan masyarakatnya terdisktraksi dengan perjuangan yang harus ditempuhnya untuk mempertahankan jabatan dan pundi-pundi uangnya. 

Saya jadi teringat dengan pertanyaan Andy dalam program Kick Andy pada Sultan Hamengkubuwono X, sekitar tahun 2007, mengenai pemimpin ideal bagi bangsa ini seharusnya yang bagaimana. Sri Sultan pun menjawab, pemimpin yang memahami Roh Pancasila itu sendiri dan bisa menerapkannya, yakni rasa Ke-Tuhanan dan rasa kemanusiaan. Serta pemimpin yang bisa menerapkan makna Bhineka Tinggal Ika itu sendiri, bukan hanya sekedar mengucapkannya, tapi tidak memberikan caranya agar Ika (kesatuan) bisa terjadi di negara Republik ini.

Hal ini dikarenakan sebelum hadirnya Indonesia, dari Sabang sampai Merauke sebenarnya sudah terbentuk banyak kerajaan yang masing-masingnya sudah memiliki budaya dan filosofinya, maka pendekatan yang dilakukan seorang pemimpin kepada masyarakatnya adalah strategi kebudayaan, yakni memanusiakan manusia untuk membangun peradaban dan kemandirian. Bukan mengacu pada materi, yang bisa menurunkan moral bangsanya sendiri.

Dan saya pun mengaitkannya dengan pernyataan Sujiwo Tejo, dimana fenomena hadirnya kerajaan baru ini, apalagi banyak orang yang mau mempercayai, bahwa masyarakat saat ini merindukan sosok Raja, dalam arti pemimpin yang bisa melindungi dan mengayomi masyarakatnya secara tulus. Bukan berarti sistem negara ini kembali ke sistem kerajaan, namun menjadikan negara ini Republik tanpa menghilangkan budayanya, yang tertuju pada budi pekerti.

Kesimpulan yang saya dapatkan adalah dari fenomena kerajaan baru ini jangan hanya dilihat sebagai dagelan ataupun pengalihan isu politik semata, dimana berita tentang Jiwasraya, Asabri, gas LPG 3 kg naik, dan Harun Masiku tiba-tiba hilang dari peredaran. Akan tetapi kita bisa belajar untuk lebih memaknai dan menerapkan budaya bangsa kita sendiri, serta memaknai alasan berdirinya Indonesia, tidak ditujukan untuk lepas dari penjajahan semata, akan tetapi bersama-sama menjadi pribadi bangsa yang merdeka, seperti tidak tereksploitasi dengan budaya Barat, negara ini juga tidak lagi terjajah secara ekonomi dan politik, cara pandang kita terhadap dunia tidak sekedar dari sudut ekonomi semata, melainkan budi pekerti dan moralitas, serta menjadikan diri kita bebas dari segala manipulasi, dan sebagainya.

Referensi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun