Mohon tunggu...
Nana Marcecilia
Nana Marcecilia Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - Menikmati berjalannya waktu

Mengekspresikan hati dan pikiran melalui tulisan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Sudut Pandang Lain dari Hadirnya Kerajaan Baru

22 Januari 2020   14:50 Diperbarui: 22 Januari 2020   14:55 457
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kemudian apa bedanya dengan zaman sekarang ini yang menyatakan negara ini sudah demokrasi, pejabat dan rakyatnya saja juga berlomba mendapatkan barang-barang branded yang dianggap dapat menaikkan gengsi. Bukankah hal tersebut sama saja dengan memuja klenik, hanya dengan kategori yang berbeda?

Tentu kata Sujiwo Tejo lagi, bila ia membayangkan cara berpikir orang kerajaan, maka orang kerajaan pastinya akan heran "apa bedanya dengan zaman saya?". Hmm... benar juga. 

Sekarang hampir sebagian besar masyarakat berlomba memakai barang-barang bermerk. Tidak mesti asli, kualitas KW pun juga akan dibeli, supaya dengan terpampangnya merk-merk terkenal, gengsi kita pun akan lebih naik dalam lingkungan pergaulan. Dan pada akhirnya mengandalkan percaya diri kita pada barang yang bermerk tersebut, bukan lagi mengandalkan kapasitas dan kemampuan diri kita.

Sistem Kepemimpinan

Raja, selalu ditanamkan mindset bahwa negara adalah miliknya. Darahnya mengalir pada negara tersebut. Jadi ketika negaranya mengalami ancaman dari negara lain, contoh kejadian Natuna kemarin, bila itu terjadi pada kerajaan, maka seorang Raja akan langsung melakukan tindakan yang melindungi negara dan rakyatnya dari ancaman negara asing. Karena ia merasa negara dan rakyat adalah miliknya secara absolut dan tidak boleh ada yang mengganggu.

Berbeda dengan presiden dan pejabat-pejabat masa demokrasi, dimana para petinggi negara ini selalu dipilih dari sistem pemilihan umum. Pemilihan pun biasanya dilakukan oleh orang-orang yang belum tentu mengerti tentang politik. Artinya untuk mendapatkan jabatan di negara saja, setiap orang harus memperjuangkan dengan cara tertentu untuk dirinya sendiri, bahkan untuk mempertahankan jabatannya saja, orang-orang tersebut juga tetap harus memikirkan dan memperjuangkannya agar tidak lengser. Sehingga yang terjadi, perhatian untuk kedaulatan negara dan masyarakat, bisa saja terbagi.

Hmm... mungkin kita bisa lihat bagaimana banyak pejabat sekarang seperti tidak lagi memiliki ideologi mengenai negara kita, sekarang ini jabatan di negara hanya dijadikan sebagai profesi dan barang dagangan. Hal ini terlihat dari setiap adanya ajang pemilihan, harus memakai politik identitas dari masing-masing kubu, kemudian harus memakai isu-isu yang bisa memecah belah bangsa demi mendapatkan jabatan. 

Kemudian pilkada kemarin, terjadi fenomena banyak caleg yang gagal mendapatkan jabatan menjadi gila. Hal ini seperti menyadarkan saya, bahwa kedudukan jabatan politik sudah tidak lagi sakral untuk menerapkan ideologi negara, akan tetapi menjadi ajang untuk balik modal dan mendapatkan keuntungan dari jabatan tersebut. Jadi kedudukan hanya dianggap sebagai profesi dan barang dagangan. Kasus korupsi yang semakin marak belakangan, bisa menjadi bukti bahwa jabatan hanya untuk wadah untuk bertransaksi.

Jadi para pejabat saat ini (tidak semua) bisa dikatakan perhatian untuk mencintai negara dan masyarakatnya terdisktraksi dengan perjuangan yang harus ditempuhnya untuk mempertahankan jabatan dan pundi-pundi uangnya. 

Saya jadi teringat dengan pertanyaan Andy dalam program Kick Andy pada Sultan Hamengkubuwono X, sekitar tahun 2007, mengenai pemimpin ideal bagi bangsa ini seharusnya yang bagaimana. Sri Sultan pun menjawab, pemimpin yang memahami Roh Pancasila itu sendiri dan bisa menerapkannya, yakni rasa Ke-Tuhanan dan rasa kemanusiaan. Serta pemimpin yang bisa menerapkan makna Bhineka Tinggal Ika itu sendiri, bukan hanya sekedar mengucapkannya, tapi tidak memberikan caranya agar Ika (kesatuan) bisa terjadi di negara Republik ini.

Hal ini dikarenakan sebelum hadirnya Indonesia, dari Sabang sampai Merauke sebenarnya sudah terbentuk banyak kerajaan yang masing-masingnya sudah memiliki budaya dan filosofinya, maka pendekatan yang dilakukan seorang pemimpin kepada masyarakatnya adalah strategi kebudayaan, yakni memanusiakan manusia untuk membangun peradaban dan kemandirian. Bukan mengacu pada materi, yang bisa menurunkan moral bangsanya sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun