Mohon tunggu...
Nana Cahana
Nana Cahana Mohon Tunggu... Dosen - Menekuni literasi, pendidikan dan sosial

Mengajar Rumpun Ilmu Pendidikan di Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) Cirebon Jawa Barat Kunjungi saya di: https://www.facebook.com/nana.cahana https://twitter.com/nanacahana https://www.instagram.com/nana_cahana/ https://nanacahana.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Cadar dalam Persilangan Budaya

24 Oktober 2019   16:10 Diperbarui: 24 Oktober 2019   16:24 475
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Perempuan bercadar (Foto: canva.com)

Ketika terjadi perang antara Romawi-Byzantium dan Persia, jalur perdagangan antara pulau mengalami perubahan untuk menghindari akibat buruk wilayah peperangan. Kota di beberapa pesisir Jazirah Arab tiba-tiba menjadi penting sebagai wilayah transit perdagangan. Wilayah ini juga menjadi tempat pelarian alternatif dari daerah yang bertikai. Dampaknya kemudian terjadi globalisasi peradaban secara besar- besaran ketika itu. 

Budaya Hellenisme-Byzantium dan Mesopotamia-Sasanid ikut  menyentuh wilayah Arab yang sebelumnya merupakan geokultural tersendiri. Menurut Nasaruddin Umar, tradisi jilbab dan harem (seclusion of women) bukan tradisi asli bangsa Arab, bahkan dahulu bukan juga tradisi Talmud dan Bibel. 

Jilbab yang semula tradisi Mesopotamia-Persi dan harem merupakan tradisi Hellenistik-Byzantium, menyebar menembus batas geokultural. Barangkali sebab itulah institusionalisasi jilbab dan harem mengkristal. Pada periode ini, jilbab yang tadinya merupakan pakaian pilihan (occasional costume) mendapatkan kepastian hukum (institutionalized) menjadi pakaian bagi perempuan Islam.

Cadar: Syariat Islam atau Budaya Arab
Menggunakan cadar dan amaliah lainnya, jika diniatkan untuk ibadah, maka akan bernilai ibadah. Hal ini sesuai kaidah innamal a'malu binniyah wa innama likulli mri in ma nawa (Sesungguhnya setiap amalan harus disertai dengan niat. Setiap orang hanya akan mendapatkan balasan tergantung pada niatnya). Namun yang menjadi pembicaraan disini dari sisi fiqih apakah bercadar merupakan syariat Islam atau hanyalah budaya Arab?

Jawaban atas pertanyaan ini tidaklah sederhana. Jika ditarik ke masa pras Islam maka jilbab dan cadar adalah budaya kuno yang digunakan pada zamannya. Maka cadar bukan dari Arab. Justeru Arab mengadopsi pakaian ini menjadi budaya Arab. Adapun jika ada yang berpendapat bahwa cadar adalah syariat Islam adalah karena ekspresi keislamannya yang menuntunnya untuk mengatakan bahwa cadar adalah syariat Islam.

Perbincangan berlanjut menuju pernyataan bahwa agama harus menjadi ordinat dan budaya adalah subordinat. Agama berasal dari Tuhan, maka harus membentuk dan menentukan nilai atas budaya yang merupakan ciptaan manusia. Pada wilayah ini, tidak sulit disepakati. Hal yang menjadi sumber perdebatan adalah pada wilayah artikulasi.

Maka yang terjadi sebenarnya saling kompetisi antara satu versi budaya dengan versi lainnya pada masing-masing kelompok yang kadang berbeda. Sayangnya, perbedaan artikulasi itu seringkali dipandang sebagai pertentangan, bahkan mengatakan Arab adalah pusat Islam, apa yang berasal dari Arab adalah representasi Islam. Klaim seperti ini muncul dari pemahaman tentang hubungan kebudayaan pusat (center) atau induk dan kebudayaan pinggiran (periphery) atau turunan. 

Arab sendiri adalah sebuah konteks budaya yang tidak tunggal. Semestinya dipilah mana yang merupakan ajaran Islam, mana budaya Arab yang terakulturasi sebagai ajaran Islam, dan mana budaya Arab yang merupakan praktik masyarakat umum dan tidak ada kaitan sama sekali dengan Islam. 

Apa yang terjadi kini adalah ada pertentangan cara pandang. Mereka yang memakai cadar menggunakan argumentasi fiqih dan syar'i, sehingga yang muncul adalah kesimpulan boleh dan tidak boleh, halal dan haram, atau syar'i dan tidak syar'i. 

Lebih dari itu, karena cadar dianggap sebagai ekspresi dari syariah yang benar, maka ia harus ditegakkan, betapapun berisiko menabrak nilai masyarakat lokal yang dianggap tidak sejalan dengan prinsip syariah tadi.

Sebaliknya, penentang cadar melihatnya dari aspek konteks budaya dan etika sosial. Tidaklah etis, kira-kira demikian argumen itu berkembang, memakai pakaian yang tak sejalan dengan kondisi masyarakat, betapapun itu atas nama agama. Ya, karena bagi kelompok yang kritis pada pemakaian cadar, agama dianggap memiliki kelenturan berdialektika, mengalami akulturasi dan akomodasi dengan budaya lokal, tanpa harus meninggalkan inti agama yang paling mendasar (geotimes.co.id).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun