Mohon tunggu...
Namira Calista
Namira Calista Mohon Tunggu... Freelancer - Student of State Islamic University of Maulana Malik Ibrahim Malang

Trying to be the best version of me! -It's Never Too Old to Learn-

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Orang Tua Vs Guru, Siapa yang Lebih Berperan Membentuk Sifat Anak?

22 Oktober 2019   05:53 Diperbarui: 22 Oktober 2019   06:10 116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://media.beritagar.id 

Halo! Ketemu lagi di artikel selanjutnya! Kalau minggu lalu saya membahas tentang bagaimana cara menyikapi anak dengan kepribadian tertutup, kali ini saya akan membahas mengenai, siapa sih yang berperan paling besar dalam membentuk sifat anak?

Kalian pasti sudah sering sekali mendengar atau bahkan mengalami sendiri 'labeling' mengenai sifat kalian, terutama di sekolah, bagi guru biasanya ada 3 jenis siswa. Siswa baik dan pintar, siswa biasa-biasa saja, dan siswa nakal. Dan yang paling diingat oleh guru, biasanya hanya siswa yang paling pintar dan siswa yang paling nakal.

Belakangan ini, banyak bermunculan berita yang membahas mengenai sikap siswa yang sudah tidak sopan terhadap gurunya, seperti membentak guru, merokok saat ada guru, duduk dimeja didepan guru, dan masih banyak lagi.

Siswa-siswa tersebut dicap sebagai anak nakal dan tidak tau sopan santun, masyarakat pun mengecam tindakan siswa tersebut dan sebagian dari mereka menyalahkan orang tua dari anak tersebut yang dianggap sudah gagal dalam mendidik anaknya.

Nah, yang ingin saya bahas pada artikel kali ini adalah apa faktor yang menyebabkan siswa/ anak bersikap seperti itu?  diulas pada laman dosenpsikologi, ada beberapa faktor yang mendorong atau membentuk sifat dan karakter anak. Di antaranya adalah cara orang tua mendidik dan membina, budaya setempat yang berlaku, agama, dan pengalaman masa kecil. Dan adapun diulas dalam laman lasealwin, yang berperan dalam membentuk sifat dan karakter anak diantaranya adalah orang tua, serta lembaga pendidikan formal dan informal.

Mengenai lembaga pendidikan, di Indonesia sendiri pendidikan akademis dianggap sangat penting. sehingga orang tua berlomba-lomba untuk mencarikan sekolah yang 'unggulan' ataupun bereputasi baik mencetak lulusan-lulusan yang sukses di masa depan.

Di Indonesia sendiri anak mulai dikenalkan pada pendidikan formal sejak usia 4 tahun mulai dari taman kanak-kanak, kemudian Sekolah Dasar, dan seterusnya. Bahkan, belakangan orang tua mulai mengenalkan anak mereka lebih dini pada pendidikan formal dengan mendaftarkan anak mereka pada playgroup, sebelum anak berusia 4 tahun.

Bagi orang tua sendiri, tentunya mengharapkan anak mereka bisa menjadi orang yang sukses, dan berguna bagi diri sendiri, masyarakat, agama dan negara. Dan untuk itu, telah menjadi stigma bagi masyarakat luas bahwa orang sukses adalah orang yang pintar, sehingga orang tua akan berusaha membentuk atau mencari cara mendidik anaknya menjadi anak yang pintar.

Sebenarnya tidak ada masalah mengenai hal itu, tetapi masalah mulai timbul ketika orang tua mengarahkan dan menetapkan apa saja hal yang harus dikuasai oleh anak. Dan karena stigma yang saya sebutkan tadi, maka orang tua akan mengarahkan anak mereka untuk pintar dalam bidang akademis disekolah, dengan mengharuskan anak belajar semua mata pelajaran sekolah dan akan memarahi anak bila ada nilai mereka yang merah atau jelek.

Padahal, setiap anak sudah memiliki potensi dan bakat masing- masing. Ada anak yang memang memiliki bakat pada bidang akademis seperti sains, bahasa, dan lain-lain. Namun tidak sedikit juga anak yang tidak berbakat di bidang akademis namun dibidang lain, seperti olahraga, seni rupa dan seni musik, ada anak dengan kreatifitas tinggi, dan lain-lain.

Nah anak-anak dengan bakat dan potensi di bidang non-akademis ini yang biasanya menjadi korban dari stigma masyarakat. Bagi orang tua dengan pemikiran yang masih tertutup, mereka akan merasa kecewa karena anak mereka tidak 'pintar', dan berusaha mendaftarkan mereka pada berbagai kursus dan memaksa anak untuk berprestasi di bidang yang sebenarnya tidak mereka minati.

Dari pola pendidikan orang tua seperti ini, sifat anak yang 'nakal' atau 'buruk' bisajadi terbentuk. Karena orang tuanya tidak mau melihat dan mengapresiasi pencapaiannya dibidang non-akademis, bisa jadi anak mulai merasa tidak percaya diri dan tidak dihargai, sehingga tumbuh sifat suka negatif thinking, pesimis dan rendah diri.

Karena takut dimarahi orang tuanya karena mendapat nilai jelek, maka anak mulai berbohong. Anak akan mulai mencontek dan melakukan kecurangan, karena yang mereka pikirkan adalah bagaimana cara agar orang tua mereka tidak marah lagi karena nilai jelek mereka, dan mencari solusi instan untuk masalah tersebut.

Kemudian, seperti yang sudah saya bahas sebelumnya, anak sudah dikenalkan kepada pendidikan formal diusia yang sangat dini. Dan sejak itu, anak menghabiskan sebagian besar waktunya untuk belajar di lembaga pendidikan formal.

Bahkan setelah menghabiskan sebagian besar waktu mereka di sekolah, anak kemudian masih dituntut untuk mengikuti berbagai kursus dan bimbingan belajar yang didaftarkan oleh orang tua mereka, dengan tujuan untuk memaksimalkan nilai akademis anak.

Dengan begitu, muncul pertanyaan, kapan anak mendapatkan bimbingan dan didikan dari orang tuanya? Bila dari pagi, hingga siang di sekolah, siang hingga sore mengikuti kursus dan bimbel, dan  malamnya anak harus mengerjakan tugas yang ia dapat dari sekolah.

Tidak hanya itu, di waktu-waktu ini, lembaga pendidikan juga terus bersaing secara ketat mempromosikan kualitas mereka sebagai sekolah unggulan, sekolah ternama, sekolah yang mampu mendidik anak-anak untuk memiliki sikap, sifat, dan potensi untuk kelak menjadi lulusan-lulusan terbaik yang terjamin masa depannya. Padahal, tidak jauh berbeda dari sikap orang tua, masih banyak sekolah sekolah yang berfokus hanya pada bakat akademis siswa, dan acuh tak acuh terhadap bakat non-akademis.

Oleh karena itu, disebebkan karena kepercayaan orang tua yang sangat besar kepada kualitas sekolah, juga karena anak yang menghabiskan sebagian besar dari waktu mereka di sekolah, banyak dari orang tua yang memasrahkan atau memindah tangankan secara penuh tanggung jawab untuk  mendidik dan membimbing anak kepada sekolah tempat anak belajar, sehingga bila terjadi hal yang tidak diinginkan terhadap anak mereka, sekolah akan menyampaikan keluhan kepada sekolah atau kepada guru wali kelas anak mereka.

Padahal, tenaga kerja yang dimiliki oleh suatu lembaga itu terbatas, dan lagi tidak mungkin bagi seorang guru untuk mengawasi dan membimbing secara penuh tiap anak didiknya mulai dari tingkahnya dikelas, masalahnya, pergaulannya, hal-hal yang membuatnya tidak nyaman. Meskipun disekolah tersebut sudah disediakan layanan bimbingan dan konseling yang ada untuk membantu siswa mencurahkan masalahnya, tetap tidak mungkin bagi seorang guru bk untuk menangani setiap siswa di sekolah tersebut secara penuh.

Maka bagi orang tua sebaiknya berhenti untuk menilai pencapaian anak hanya dari hasilnya saja, tapi juga dari prosesnya sehingga anak akan mengerti bahwa sikap atau cara dia untuk mendapatkan pencapaian tersebut juga penting. Juga seharusnya baik pihak guru maupun orang tua, tidak saling memasrahkan tanggung jawab untuk mendidik anak, melainkan bekerja sama agar dapat memberikan hasil yang optimal dalam mendidik anak, sehingga anak dapat terhindar dari sifat-sifat negatif dan perkembangan psikologi anak dapat berkembang secara maksimal.

Nah, demikian pembahasan saya kali ini, berikan pendapatmu mengenai pembahasan kali ini ya, dan salam sukses!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun