Mohon tunggu...
Nur Mila Isnaini
Nur Mila Isnaini Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswa

Mahasiswa Manejemen dan Karyawan swasta

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Rangkap Jabatan Anggota Kepolisian sebagai Bentuk Pengoptimalan?

13 Juli 2020   21:40 Diperbarui: 13 Juli 2020   21:49 170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Banyaknya perwira polisi yang menduduki jabatan strategis di luar institusi Kepolisian menjadi pro dan kontra. Dilansir dari Tempo, saat ini ada lebih dari 30 jendral polisi aktif maupun pensiunan perwira tinggi polisi menduduki jabatan penting di luar pemerintahan. Sebanyak 18 orang tersebar di kementrian, 7 orang di lembaga non-kementrian, 4 orang di BUMN dan 2 orang menjadi duta besar, dan 2 orang lagi di asosiasi independen.

Salah satu pihak yang kontra adalah dari DPR, dimana ada anggota DPR dari partai Gerindra yang mengatakan "Anggota polisi yang menduduki jabatan di luar institusinya harus mundur karena itu melanggar Undang-Undang Kepolisian". Kemudian dari Komisioner Ombudsman Republik Indonesia juga senada, "Polisi yang masih aktif tentu memiliki pengaruh dan bisa saja digunakan untuk kepentingan tertentu". (Mengutip dari Tempo)

Sedangkan pernyataan dari pihak kepolisian sendiri terkait akan hal ini, mereka juga memiliki dasar yakni Peraturan Kapolri No. 4 Tahun 2017 tentang penugasan kepolisian di luar struktur organisasi kepolisian. (Mengutip dari Kompas).

Disini menurut saya ada dualisme landasan hukum, namun aturan yang mana yang seharusnya sah diapakai? Kedudukan UU dan Perpu dalam hierarkinya adalah sejajar. Namun apakah Peraturan Kapolri bisa termasuk kedalam Perpu sehingga sejajar dengan UU?. Mengutip dari Kompas yang menjelaskan bahwa Perpu memiliki berbagai jenis, salah satu jenisnya yakni Perpu yang ditetapkan oleh Menteri, badan, lembaga atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan UU atau Pemerintah atas perintah UU. Dari uraian tersebut sudah terlihat dimana Peraturan Kapolri termasuk kedalam jenis Perpu dan kedudukannya sejajar dengan UU.

Menurut ilmu yang pernah saya dapat, ketika hal tersebut dibenturkan dengan asas hukum yang berbunyi  "lex specialis derogant legi generalis" yang berarti aturan hukum yang lebih khusus akan mengesampingkan aturan hukum yang lebih umum. Maka Peraturan Kepolisian No. 4 Tahun 2017 tentang penugasan kepolisian diluar struktur kepolisian, akan menggeser keberlakuannya UU Kepolisian mengenai pelarangan anggota polisi aktif dilarang merangkap jabatan. Karena Peraturan Kapolri No.4 Tahun 2017 tersebut mengatur lebih banyak dan detail daripada UU Kepolisian.

Terlepas dari hal tersebut, apakah tidak akan rawan konflik kepentingan dalam rangkap jabatan tersebut jika suatu saat terjadi sesuatu? Apakah disana mereka akan tetap bisa mempertahankan keprofesionalan tugas, ditengah keterbatasan manusia yang sering tak bisa berbuat adil? Bukankah lebih tepat kata kata Bang Napi, bahwa "kejahatan terjadi bukan hanya karena niat, tetapi juga karena ada kesempatan. Waspadalah-waspadalah". Begitu kira-kira yang bisa mewakili pikiran saya ketika mendengar kabar bahwa anggota polisi merangkap jabatan, bahkan ada peraturan yang melindungi  hal tersebut setingkat Perpu.

Selain itu, bisa jadi akan ada penghasilan ganda juga untuk itu. Jika hanya satu orang mungkin tidak terlalu berdampak, tapi jika semakin hari semakin banyak yang rangkap jabatan, apakah tidak menambah anggaran negara? Yang seharusnya untuk membangun hal penting lainnya, tapi justru ini digunakan untuk memberikan gaji ganda untuk pihak tersebut.

Apalagi, hal tersebut dilakukan ditengah citra polisi yang sering menjadi sorotan dari banyak pihak mengenai kinerja mereka. Diantaranya, saat kepolisian anarkis dalam membubarkan para demonstran bahkan sampai memakan banyak korban jiwa bahkan sampai ditahan. Lalu, saya sering menjumpai sendiri kinerja polisi di lapangan saat melakukan razia lalulintas marak sekali mudah disuap oleh para pelanggar lalulintas, entah dengan rokok atau dengan uang ganti yang lebih mahal daripada mengikuti sidang. Itulah beberapa gambaran kinerja polisi yang merusak citranya sendiri. Ah itu kan hanya oknum? Ya, oknum yang tak terhitung.

Rasanya tidak adil jika tak juga menyoroti latar belakang dari penugasan Polri di luar institusinya tersebut. Di dalam Peraturan Kapolri No.4 Tahun 2017 didalam Pasal 2c (Tujuan Pengaturan Penugasan Anggota Polri di Luar Struktur Organisasi Polri) tertulis "terlaksananya tugas polri secara optimal dalam penyelenggaraan fungsi pemerintahan pada kementrian/lembaga/badan/komisi, perwakilan diplomatik/konsuler, atau pemelihara perdamaian dunia pada organisasi internasional".

Optimal dalam penyelanggaraan di luar institusinya? Bukankah seharusnya dimaksimalkan dalam badan Kepolisian terlebih dulu ditengah turunnya kepercayaan publik terhadap lembaga Kepolisian? Menurut saya ini bukan hendak memaksimalkan, tapi menambah masalah baru. Satu hal belum selesai tapi menambah urusan lain.

Hal tersebut juga diungkapkan oleh Pengamat Kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies yang saya dapat dari artikel Tempo, "Saya melihat polisi saat ini menjadi sosok tua yang gemuk dan tidak lincah. Ibaratnya kalau orang gemuk itu , dia harus diet ketat dan olahraga lebih keras, bukan malah menambah ukuran baju seperti ini". Kemudian ada juga pernyataan dari Anggota DPR dari partai PDIP, I Wayan Sudirta "Di dalam tubuh Polri itu masih dibutuhkan polisi-polisi yang bagus. Kalau yang baik-baik diambil ke luar, polisi kehilangan anggota-anggota yang berpotensi."

Jujur saya ada ketakutan sebelum menuliskan artikel ini karena objek sasaran saya adalah kepolisian, dimana belum lama Komika Bintang Emon sempat mendapatkan teror karena mengkritik pedas soal alasan "tak sengaja" yang dibangun tersangka penyiraman air keras novel baswedan. Namun keberanian saya mulai muncul mengingat saya masih percaya bahwa lembaga kepolisian itu bukan lembaga yang anti kritik, mereka pasti akan bijak dalam menempatkan kritik dari masyarakat dan mereka orang-orang cerdas terpilih yang mana pasti bisa  memandang kritik sebagai suatu hal yang membangun, bukan hal yang menyulut tersinggung. Mereka yang  melakukan teror mungkin hanyalah oknum. Semoga motto kepolisian Rastra Sewakottama (Pelayan Utama Bangsa) akan terus bisa menjadi penghias disetiap kerja dan pengabdian yang dilakukan oleh Kepolisian Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun