Mohon tunggu...
Najmie Zulfikar
Najmie Zulfikar Mohon Tunggu... Administrasi - Putra : Hamas-ruchan

Pe[ngen]nulis | Konten Kreator YouTube | Channel : James Kalica

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Mendidik Kedisiplinan Taruna

19 Februari 2019   08:19 Diperbarui: 19 Februari 2019   08:29 179
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Nenek Moyangku, orang pelaut. Gemar mengarung luas samudra. Menerjang ombak tiada takut, menempuh badai sudah biasa.

Sepenggal lirik lagu karya Ibu Sud yang menjadi konsumsi anak-anak PAUD di sekolah. Guru mengajarinya sebagai proses pembentukan bahasa anak. Agar menambah kosa-kata untuk menunjang kecakapan berbahasa. Bagaimana jawaban kita sebagai orang tua ketika anak mengadakan mini QnA setelah mendengarkan lagu itu. Karena guru juga menjelaskan pesan dari lagu tersebut.

Ketika pulang sekolah anak bertanya: " Pa, aku mau jadi seorang pelaut?" ujarnya. Sang papa menjawab: " Iya, kak'. "Tapi caranya gimana, pa ?, kata anak. Sambil memegang bahu sang anak :" kakak, harus masuk taruna, dan belajar yang rajin agar bisa jadi pelaut". Begitulah, ilustrasi ketika orang tua mendengarkan cerita buah hati tercinta yang ingin menggapai cita-citanya.

Cita-cita mulia yang terucap dari anak. Sehingga selalu memotivasinya demi mewujudkan cita-cita. Tentu, orang tua akan mendukungnya. Dengan segala hal, materi pun siap dikorbankan. Demi kebahagiaan hidup di masa depan.

Orang tua mana yang tidak bangga putra/putrinya diterima menjadi Taruna/Taruni sekolah kedinasan maupun non kedinasaan. Diterima sebagai Taruna Polisi, Taruna Militer, Taruna Pelayaran atau bahkan Taruna Penerbangan. 

Ketika lulus nanti jadi Perwira, atau bahkan Kapten. Ungkapan "mikul dhuwur, mendem jero" layak untuk disematkan kepada anak yang berhasil mengharumkan nama orang tua atas keberhasilan cita-citanya. Jika anak lulus dari taruna, orang tua bahagianya seperti mendapatkan door prize kulkas dua pintu.

Namun, dibalik catatan manis itu terdapat goresan pahit di dalamnya. Yang ada di benak penulis, tentu masih ingat, Amirullah Aditya Putra taruna STIP Jakarta menjadi korban penganiayaan oleh seniornya. Polsek Metro Cilincing menetapkan lima taruna tingkat dua sebagai tersangka.

Tidak berhenti disitu, Muhamad Adam taruna tingkat dua Akademi Kepolisian Semarang tewas dianiaya seniornya. Dalam hasil autopsi terdapat luka dibagian paru-paru. Pelaku penganiayaan diperkirakan berjumlah dua belas orang.

Beberapa waktu lalu, terjadi peristiwa yang sama. Aldama Putra Pongkala, taruna Akademi Taruna Keselamatan Penerbanagan (ATKP) Makassar tewas ditangan seniornya. Korban dianiaya lantaran saat berkendara tidak memakai helm masuk ke dalam kampus. Korban dipanggil kemudian dianiaya oleh seniornya.

Sungguh ironi, peristiwa ini seolah tidak ada kata habis. Orang tua dibuat histeris, ketika anak nya dihabisi oleh seniornya. Lalu, siapakah yang akan menjadi kambing hitamnya? Apakah benar semua motif peristiwa itu adalah demi menegakkan panji kedisiplinan?

Dalam benak penulis, ketika terlitas kata taruna/taruni pasti identik dengan pendidikan militer didalamnya. Sebagai seorang taruna, kedisiplinan adalah nomer wahid yang harus ditanamkan. Namun bagaimanakah menerapkan kedisiplinan dalam pendidikan itu? Haruskah dengan kekerasan atau kelembutan?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun