Mohon tunggu...
Nadja Djasli
Nadja Djasli Mohon Tunggu... -

Lahir 08 Juni 19. . . . di sebuah kampung kaki gunung 'Sitodong'tepatnya di Bumi Sawerigading yang merupakan salah satu daerah peradaban tertua sekaligus wilayah tertua peradaban Islam di wilayah Timur Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Jalan Kehidupan

16 September 2016   16:23 Diperbarui: 16 September 2016   18:22 50
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Malam telah tiba, lampu penerangan sudah mulai pancaran cahayanya diantara pohon-pohon di  kawasan hijau gedung berlantai 23 itu. Kesunyian mulai terasa dari balik jendela lantai 10 gedung itu, beberapa gedung pencakar langit berdinding kaca tidak lagi menyilaukan, hanya terlihat cahaya lampu menerangi. Ingatan seketika tersentak menyadari mengapa masih berada di lorong-lorong sekatan dinding bernomor ini. Hembusan asap rokok yang keluar dari mulut dan hidung mengantar liarnya pikiran aku. Tak ada jawaban yang pasti terjawab dari instuisi aku. Hanya ada dalam benak keegoan bahwa inilah hidup yang harus dijalani. Biarkan mengalir mengikuti iramanya dengan senandung harapan dari sang Ilahi kelak akan menemukan titiknya. 

Suara grasak grusuk dan sesekali suara keyboard PC Komputer dari balik sekatan didinding mnghentakan lamunan itu kembali dalam alam sadar.  Rokok dari balik jepitan jemariku pun mulai terasa panas, karena sudah nyaris membakar filternya. Sebuah bekas gelas air mineral dengan tersisia sedikit air menjadi alternatif menaruh puntung rokok sambil beranjak dair kursi di lorong sekatan itu. 

Jarum jam berdetak di tangan kiri aku menunjuk pukul 19.30 seiring suara ajakan untuk meninggalkan ruangan menuju ruang rapat yang berada di gedung sebelah. Bersama dua rekan kerja mendampingi pria paruh baya berusia 52 berjalan menuju lift sesekali ngobrol tentang pekerjaan.  Rekan itu memencet lantai 1. Sejenak kami berdiam dlm lift, hanya suara gemuruh kotak berkaca itu mengantar ke lantai dasar. Secara bergiliran keluar dr lift menuju ruang rapat. Terlihat di depan ruang rapat beberapa se-profesi dan para pria berjas dgn pin padi kapas duduk dalam ruang rapat. Seperti biasanya setelah para "juragan politik" masuk ruang rapat, kami mencari posisi duduk di depan ruang rapat itu. Maklum terkadang rapat tertutup atau karena kapasitas ruang rapat tidak memadai. Terkadang harus duduk bersila di lantai. Sendagurau pun antara kami terkadang lahir, bahkan saling nyelutuk pada masing-masing cerita. Tertawa cekikan agar suara tak terdengar masuk dalam ruang rapat. Entah apa yang ada dibenak sendagurau antara mereka, apa tertawa pada celotehan karena melucu ataukah berusaha untuk menghibur diri. (#)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun