Mohon tunggu...
Nailul ElMaghfir
Nailul ElMaghfir Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis. Jurnalis. Mahasiswi

Mahasiswi Ekonomi yang menyukai sastra. Berfokus pada literasi Ekonomi Syariah di Indonesia. Namun, tidak menutup kemungkinan menuliskan hal lain seperti pariwisata.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Aksi Mahasiswa, Saatnya Mendengarkan dan Berdialog

26 September 2019   02:35 Diperbarui: 26 September 2019   05:14 100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Aksi 24 September, usaha mahasiswa menyuarakan keinginan rakyat belum menuai hasil. Selasa (24/9) kemarin, bahkan setelah merobohkan pagar gedung DPR, mahasiswa belum juga ditemui oleh Ketua KPK.

Alhasil, perwakilan mahasiswa diundang dalam acara Indonesia Lawyer Club untuk menyuarakan tuntutannya. Diantara tuntutan itu adalah tolak RUUKUHP, batalkan RUKPK dan sahkan RUPKS.

Sebagian point-point yang disoroti yaitu dalam tuntutan pembatalan pengesahan RUKPK: penyadapan KPK harus seizin Dewan Pengawas yang mana Dewan Pengawas tentunya berasal dari pemerintah dan anggota DPR, sedangkan koruptor yang sering ditangkap KPK adalah kalangan DPR, bagaimana bisa di bentuk Dewan Pengawas ini dan penyadapan harus seizinnya?

Jika ini tetap berlanjut, akan ada kepentingan-kepentingan DPR yang masuk dalam proses penyidikan KPK. Lalu, dalam penundaan RUKUHP: gelandangan di denda 1 juta padahal yang namanya gelandangan ya tidak punya uang, terpaksa tidak bisa bayar denda maka di penjara.

Kemudian korban pelecehan seksual yang aborsi akan dipidana padahal seharusnya ini dokter yang melakukan praktek aborsi illegal yang dipidana serta hukuman koruptor minimal 2 tahun penjara padahal awalnya 4 tahun penjara.

Mengenai RPKS yang mengusung konsep My Body is Mine yang mana akan melindungi korban pelecahan seksual meskipun pelaku menyebutkan mereka saling suka, justru tidak kunjung di sahkan. Ini baru sebagian kejanggalan dari RUU yang ada.

Setelah berbagai alasan itu disebutkan, salah satu ketua BEM Universitas ternama melontarkan pendapat, "penundaan adalah bahasa politis, yang ada adalah ditolak atau disahkan." Alasan lain dilontarkan, "kejanggalan adalah ketidaktahuan/kebodohan atau kepentingan?"

Pernyataan ini lalu disanggah oleh seorang menteri bahwasanya "mengapa menolak setelah di-sahkan? Mengapa tidak protes sebelumnya-sebelumnya?"

Lalu didukung dengan sanggahan seorang presenter, "apakah sudah baca KUHP sebelumnya? Sudah memahami isinya? Revisi dilakukan karena KUHP adalah warisan Belanda dan terdapat point yang tidak esuai, ini waktunya memiliki KUHP sendiri. DPR pernah didatangkan ke ILC, dikritik apa saya yang sudah dikerjakan selama ini. Karena itu adanya RUUKUHP di akhir masa jabatan dimaksudkan agar DPR juga memberikan 'sesuatu' hasil dari kinerja mereka."

Akan tetapi, apakah kinerja yang terkesan tergesa-gesa ini benar-benar mewakili suara rakyat? Tidak sepenuhnya, padahal DPR adalah Dewan Perwakilan Rakyat yang seharusnya menjadi wakil rakyat untuk bisa mendapatkan kebijakan, kebaikan dan kebaji(n)kan (?) Jadi, aksi 24 September, salah siapa?

Mengapa pemerintah menyalahkan rakyat (mahasiswa) yang tidak menolak jauh-jauh hari dan tidak membaca draft RUU. Sedang, informasi mengenai RUU sangat kurang bagi masyarakat. Lalu, rakyat (mahasiswa) menyalahkan DPR yang membuat keputusan dengan tergesa-gesa. Apakah waktunya saling menyalahkan sekarang? Tidak. Sekarang, waktunya mendengar dan berdialog.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun