Mohon tunggu...
Nailul ElMaghfir
Nailul ElMaghfir Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis. Jurnalis. Mahasiswi

Mahasiswi Ekonomi yang menyukai sastra. Berfokus pada literasi Ekonomi Syariah di Indonesia. Namun, tidak menutup kemungkinan menuliskan hal lain seperti pariwisata.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Novel Akmila Fazahra - Part 1.2

25 September 2019   20:31 Diperbarui: 25 September 2019   20:37 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1.2 Kembali Bertemu 

|\

Semingggu berlalu, acara perpisahan di sekolah Mila sudah selesai. Gadis itu benar-benar membuktikan ucapannya mengenai dia yang tidak akan mengabadikan banyak moment. Dia hanya berfoto sekali bersama dengan guru dan foto bersama dua sahabatnya. Sehari setelah wisuda, dia juga langsung pergi ke pesantren. Alhasil sore ini, di sini lah dia sekarang. Di dapur pesantren membantu sepupunya-Lifa, memasak untuk keluarga ndalem (keluarga Kyai).

"Mbak Lifa, kenapa Mbak mau jadi Mbak ndalem yang masak sama bersih-bersih rumah Kyai? Kata temen-temenku yang mondok dulu, yang jadi Mbak-mbak ndalem biasa dari santri yang gak mampu bayar jadi sebagai gantinya mereka ngabdi sama Kyai," Mila membuka percakapan ketika di dapur hanya ada mereka berdua. "Ini namanya usaha cari ridho-Nya Kyai, Mil. Abiku pernah cerita, dulu saat dia nyantri ada satu temennya yang jarang hafalan, kalau ngaji suka ngantuk, tetapi dia kalau disuruh-suruh Kyai rajin banget, sekarang temennya Abi udah punya pesantren sendiri. Pas aku tanya ke Abi, lah kok bisa ya, Bi? Abi jawab, Kyai meridhoinya. Jadi ya, aku cuma usaha sih supaya bisa dapat ridho Abah sama Umi," Mila mengangguk setuju. Bersamaan dengan itu, matanya tidak sengaja melihat seorang Gus (putra Kyai) yang duduk di ruang tengah tak jauh dari dapur, Mila langsung menyeringai ketika ide jahil terlintas di benaknya, "Ah, tapi apa gak karena yang di sana? Lumayan ganteng tuh, Gus-nya,"

Lifa menoleh ke arah yang Mila maksud. Matanya membelalak seiring dengan jantungnya yang berdegub. "Ya ... ya ... gak lah," balas Lifa gagap lalu memaksakan tawanya. "Kenapa aku mau repot-repot masak di sini tiap hari hanya karena laki-laki?" Mila mengangguk. "Begitu? Aku pikir Mbak melakukan ini karena pengen masakannya di cicipi sama Gus itu," ujar Mila dengan wajah sok mengalah padahal kalimat yang keluar dari mulutnya jelas ditujukan untuk menggoda Lifa. 

"Milaaa ... enggak kok," teriak Lifa pada akhirnya karena merasa berhasil digoda oleh Mila. 

"Ssst ... Mbak, nanti Gus-nya denger loh," peringat Mila membuat Lifa sukses menunjukkan ekspresi melas lalu berjongkok karena ketahuan naksir Gus pesantren ini. Diam-diam, Mila tersenyum kecil. Hari pertamanya di Pesantren terasa menyenangkan sebab ada Lifa di sini. Dalam hati, Mila berdoa semoga hari-harinya di pesantren akan terus menyenangkan seperti ini.

"Loh, Mbak Lifa kenapa jongkok di bawah?" suara yang muncul tiba-tiba membuat Mila dan Lifa menoleh. "Eh, Ning Zahra... gak kok. Ada apa? Udah laper ya? Mau nyicipi dulu?" sapa Lifa.

Gadis berkerudung kuning gading yang dipanggil Ning Zahra itu menggeleng. "Gak, Mbak. Aku ke sini karena mau minta tolong buatin teh manis satu sama bawain kurma ke kamar Kakak. Dia hari ini puasa." Lifa mengedip-gedipkan matanya lalu berdiri, dia menengok ke arah laki-laki yang duduk di ruang tengah. "Gus Fatir puasa?" tanyanya setengah berbisik.

"Bukan Kak Fatir, tapi Kak Akmal." Lifa langsung lesu. "Ah, baiklah, Ning. Nanti aku yang anterin ke sana."

Mendengar nama Akmal disebutkan, Mila tertegun sebentar lalu menggelengkan kepala, mengusir pikiran konyol yang sempat terlintas dalam otaknya. Gak mungkin itu kak Akmal. Lagi pula, yang punya nama Akmal bukan cuma satu orang saja, kan?

"Makasih, Mbak. Eh, tapi ... aku baru inget, Ummi nyuruh aku ke sini buat manggil Mbak juga. Kayaknya mau dimintain tolong buat masakin makanan kesukaannya Kak Akmal deh." Perkataan Zahra membuat Mila sedikit melirik ke arahnya. "Kalau gitu, nanti Mila yang nganterin ke sana aja. Kamu bisa kan, Mil ... buat teh manisnya? Terus nanti kurmanya ambil di kulkas."

Mila mengangguk. "Bisa, Mbak. Tapi dianterin ke mana?" 

"Kamu lihat ada lorong di sebelah kanan ruang tengah, kan? Di sana ada beberapa kamar. Ketuk aja kamar yang ada tulisan kaligrafi bismillah-nya di pintu."

"Baiklah ... nanti aku antar ke sana."

"Kalau gitu, ayo, Mbak Lifa. Umi ada di ruang tamu depan." Zahra dan Lifa pun meninggalkan dapur. 

Mila segera menyeduh teh lalu mengambil kurma, menatanya di atas piring kemudian meletakkannya di nampan ketika teh-nya sudah siap. Mila membawa nampan itu menuju kamar yang telah dijelaskan oleh Zahra. Belum sempat dia sampai, terdengar suara benda jatuh dari kamar yang pintunya terbuka. Refleks Mila menuju kamar itu. Dari samping dia melihat pintu kaligrafi bismillah di pintu kamar itu, Mila lalu mengetuknya sebelum mengucapkan salam.

"Assalamu'alaikum, Gus. Saya ingin mengantarkan makanan untuk-" 

Deg. Perkataan Mila terhenti saat dia melihat seorang gadis menunduk di depan laki-laki yang kemejanya terbuka. Bukan, bukan dia kaget karena melihat pemandangan itu. Dia hanya tidak percaya sedang melihat siapa saat ini. Laki-laki itu, yang kini memandangnya dengan datar adalah sosok yang selama ini dia rindukan. Namun, apa yang dia lihat saat ini? Pria itu bersama dengan gadis lain di sebuah kamar? Sebuah perjumpaan yang sama sekali tidak Mila duga. Bahkan, untuk membayangkannya saja Mila tidak pernah berani. Kini, dia justru menghadapi situasi ini nyata di depan matanya. 

Deg. Deg. Deg. Ribuan beton seakan baru saja menghantam kesadarannya. Terluka, kecewa, itulah yang saat ini dia rasakan. Dia tidak menyangka, kabar burung yang pernah menggosipkan kekasihnya menghilang tanpa kabar karena sudah memiliki gadis lain ternyata benar adanya.

"Duh ... waalaikum salam, Mbak. Maaf ya, pasti Mbak kaget lihat kita berdua.  Tapi, sungguh ini gak seperti yang Mbak kira." Penjelasan gadis itu membuat Mila meliriknya sekilas lalu kembali menatap laki-laki di hadapannya dengan tatapan yang tidak bisa diekspresikan. Hatinya masih terlalu terkejut untuk sekedar membuat otaknya memerintahkan kakinya agar keluar dari tempat ini.

"Tolong ya jangan nyebarin gosip yang gak-gak. Ini beneran gak seperti yang Mbak pikirkan. Makasih buat makanannya," lanjutnya sembari mengambil alih nampan yang Mila pegang. 

Dengan susah payah, Mila mengangguk. Tenggorokan terlalu tercekat dengan rasa sesak yang memenuhi dadanya hingga untuk mengucapkan salam pun dia tidak mampu. 

Di luar ruangan, Mila memegangi dadanya yang terasa berdebar, sangat sesak dan sakit. "Kak Akmal ..." gumamnya masih tidak percaya. Namun, kenyataan yang baru saja dilihatnya membuat air matanya menetes tanpa dia sadari. Akmal, kekasihnya yang telah menghilang tanpa kabar setahun lalu adalah Gus Akmal yang sama dengan yang dia lihat hari ini. Orang yang dia rindukan, orang yang sangat dia harapkan bisa kembali bertemu dengannya, detik lalu mereka bertemu tetapi tidak dalam keadaan yang dia inginkan. Rasanya, baru seminggu yang lalu Mila menuliskan harapan untuk bertemu dengan Akmal di buku sketsanya ...

Tuhan ... aku ingin ... bertemu dengannya, sekali saja. Ya, hanya sekali untuk meminta kejelasan. Agar aku tahu aku harus melupakannya atau memaafkannya.

Hari ini ... harapan itu sudah terkabul. Dan Mila menyesalinya. Karena ditinggalkan kekasih tanpa kabar memang sakit, tetapi melihat kenyataan kekasihnya memiliki wanita lain, itu jauh lebih menyakitkan. Allah mengapa Engkau mempertemukan aku kembali dengannya jika hanya untuk melihatnya bersama gadis lain?

to be continued ....

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun