Dalam pandangan hukum positivisme, analisis kasus dugaan penyalahgunaan dana CSR Bank Indonesia ini dapat dilihat dari beberapa sudut pandang utama yang berfokus pada peraturan dan ketentuan hukum yang berlaku serta penerapan hukum tersebut dalam tindakan yang sesuai dengan norma yang sudah ada.
1. Hukum Positif dan Kepastian Hukum
Hukum positivisme, seperti yang dijelaskan oleh aliran positivisme hukum, menekankan bahwa hukum terdiri dari aturan-aturan yang dibuat oleh otoritas yang sah (misalnya, lembaga negara atau pembuat undang-undang), yang harus diterapkan secara tegas dan tidak tergantung pada nilai moral atau keadilan sosial. Dalam kasus ini, hukum yang relevan adalah Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan berbagai peraturan lain yang mengatur tentang pengelolaan dana CSR dan tanggung jawab lembaga keuangan seperti Bank Indonesia.
Penyelidikan yang dilakukan oleh KPK terhadap dugaan penyalahgunaan dana CSR BI mencerminkan upaya untuk memastikan bahwa aturan yang ada tentang pengelolaan dana publik, baik dari pemerintah atau lembaga seperti Bank Indonesia, diterapkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Hal ini berfokus pada hukum yang sudah ada, yaitu penyaluran dana CSR yang harus dilakukan secara transparan dan untuk tujuan yang sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.
Dalam kerangka hukum positif, suatu tindakan baru dianggap sah dan dapat dipertanggungjawabkan hanya jika ada aturan hukum yang jelas yang mengaturnya. Dalam hal ini, penggunaan dana CSR BI yang diduga disalurkan ke pihak yang tidak tepat melanggar aturan yang ada dan menjadi dasar penyidikan oleh KPK.
2. Aspek Tindak Pidana Korupsi
Dari perspektif hukum positif, KPK bertindak berdasarkan Surat Perintah Penyidikan (Sprindik)Â dan menggunakan mekanisme hukum yang ada untuk menyelidiki dan mengejar pelaku yang diduga melanggar hukum. Pada kasus ini, meskipun belum ada tersangka yang ditetapkan secara resmi, tindakan yang dilakukan oleh KPK seperti penggeledahan, pemeriksaan saksi, dan pemanggilan pejabat BI serta pihak-pihak terkait menunjukkan penerapan hukum yang bersifat objektif, berdasarkan aturan yang ada.
Dalam konteks positivisme hukum, kasus ini merupakan contoh konkret dari upaya penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi, di mana penyalahgunaan dana CSR dapat dianggap sebagai korupsi jika terbukti ada penyalahgunaan wewenang atau niat untuk mengalihkan dana untuk kepentingan pribadi atau kelompok.
3. Prinsip Keadilan dalam Hukum Positif
Menurut teori positivisme hukum, meskipun norma hukum harus ditegakkan dengan tegas, penerapannya juga harus sesuai dengan hukum yang berlaku dan prosedur yang tepat. Dalam hal ini, KPK bertindak sesuai dengan peraturan yang ada, meskipun belum ada penetapan tersangka. Hal ini sesuai dengan prinsip hukum positivisme yang menyatakan bahwa keadilan hanya dapat dicapai melalui penegakan hukum yang jelas dan tanpa keberpihakan.
Selain itu, tindakan yang dilakukan oleh anggota DPRÂ (seperti yang diakui oleh Satori) terkait penggunaan dana CSR untuk kegiatan di daerah pemilihannya menimbulkan pertanyaan mengenai apakah pengalokasian dana tersebut sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Pada perspektif hukum positivisme, meskipun pengakuan ini tidak langsung menunjukkan adanya suap atau gratifikasi, namun penggunaan dana yang tidak sesuai dengan tujuannya tetap bisa dianggap sebagai pelanggaran terhadap prinsip transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan dana publik.