Mohon tunggu...
NAHLI
NAHLI Mohon Tunggu... Insinyur - Scientist, logist

Scientist, logist

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kita Bukan Harus Berdamai dengan Corona, tapi Dengan...

25 Mei 2020   14:05 Diperbarui: 25 Mei 2020   14:03 152
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tujuh Mei Dua Ribu Dua Puluh, Presiden Jokowi mengeluarkan statement bahwa kita harus berdamai dengan Corona hingga Vaksin ditemukan. Banyak Pro-Kontra dari statement ini berkeliaran di dunia maya. Tugas -- tugas para menteri dan stafsus sebagai penerjemah maksud dari Pak Presiden ini berseliweran. 

Wakil Presiden Indonesia ke-10 dan ke-12 pun memberi pernyataan bahwa peryataan 'berdamai' itu kurang tepat karena 'berdamai adalah kesepakatan dari kedua belah pihak, kalau coronanya tidak mau diajak berdamai bagaimana?

 

Terdapat fenomena menarik di kala kita seakan -- akan sedang "berperang" dan harus ada kata damai di antara kita. Selama Pandemi Covid-19 ini, emisi karbon menurun sekitar 17 juta ton karbon dioksia (CO2) atau 17 % pada awal April 2020 dibandingkan dengan rata- rata harian tahun 2019. Hal ini disebabkan oleh meningkatnya aktivitas #dirumahaja yang sangat mengurangi penggunaan kendaraan di jalan, aktivitas pabrik, dan transportasi penerbangan. Terdengar seperti suatu berkah kah pandemi ini?

Dari sudut pandang Pak Presiden - yang merupakan sudut pandang manusia sebagai korban pandemi, bendera putih dan perdamaian perang dengan corona memang layak dikibarkan (dan akhirnya kita melancarkan senjata pamungkas berupa vaksin -- what the hell are us?). Perdamaian dengan hal yang tidak kita sukai memang harus selalu kita lakukan, walaupun pihak yang kita ajak berdamai menolaknya.

Ajahn Brahm dalam bukunya "Cacing & Kotoran Kesayangannya" (lihat saja dari judulnya, mana ada manusia yang menyayangi kotorannya?) bahwa kita harus mengajak berdamai dengan hal -- hal yang kita tidak sukai. Dia menganalogikan dengan sebuah penyakit yang sedang tubuh manusia adalah hal yang lumrah dan pasti terjadi. 

Sesehat -- sehatnya manusia pasti merasakan terkena sebuah penyakit. Bakteri, jamur ataupun virus merupakan tamu yang akan silih berganti datang ke tubuh manusia, sehingga kita harus memperlakukan mereka seperti tamu, mempersilahkan masuk hingga akhirnya mereka puas dan bosan (dengan catatan kita selalu berusaha menyehatkan diri dengan olahraga dan makan makanan sehat) lalu pergi sambil tersenyum dan melambaikan tangan.

Berbicara mengenai berdamai dengan pihak lain, apa yang telah kita (MANUSIA) lakukan 10.000 tahun ke belakang justru kontradiktif dengan apa yang kita harapkan akan terjadi sekarang. Migrasi Homo Sapiens dari Afrika ke luar Afrika, telah banyak memunahkan makhluk bumi lain secara cepat hanya dalam kurun waktu kurang dari 10.000 tahun (dijelaskan secara jelas pada buku Sapiens oleh Yuval Noah Harari tahun 2011).

Tampaknya kitalah virus bagi bagi Bumi kita yang tercinta ini. Bumi sedang bernegosiasi dengan manusia melalui agennya yang bernama Corona. Apakah ini balasan atau karma yang sedang kita jalani? Bumi hanya ingin berdamai dengan Manusia, agar kita sama -- sama tidak saling menyakiti satu sama lain. Bumi sedang dalam fase equilibriumnya demi mencapai keseimbangan alam. 

Tampaknya bumi sedang menyuntikan vaksin bernama "corona" untuk menangkal Virus "Human Virus Disease-19" (HUVID-19).

Jadi, bisakah kita berdamai dengan Bumi kita ini? Atau kita malah akan terus mengobarkan bendera perang terhadap Bumi?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun