Ketika dunia modern dirundung oleh keresahan mental, kehilangan arah hidup, dan krisis eksistensial, buku Man's Search for Meaning karya Viktor E. Frankl kembali hadir sebagai pelita yang tak lekang oleh zaman.Â
Ditulis tak lama setelah Perang Dunia II berakhir, karya ini bukan hanya sebuah catatan sejarah tentang kekejaman kamp konsentrasi Nazi, tetapi juga refleksi mendalam tentang bagaimana manusia tetap bisa menemukan makna hidup meski berada di ambang kematian dan penderitaan ekstrem.
Frankl, seorang psikiater asal Austria sekaligus penyintas Holocaust, menulis buku ini bukan sebagai ekspresi amarah, tetapi sebagai ajakan untuk berpikir ulang tentang makna hidup, terutama di tengah penderitaan yang tak dapat dihindari. Di sinilah letak kekuatan utamanya: Man's Search for Meaning bukan hanya kisah kelam masa lalu, tetapi juga jawaban atas kegelisahan zaman ini.
Makna sebagai Obat Jiwa
Frankl berangkat dari pengalamannya yang mencekam di kamp konsentrasi Auschwitz dan Dachau. Ia menyaksikan sendiri bagaimana rekan-rekannya yang kehilangan semangat hidup perlahan-lahan menyerah pada kematian, bukan hanya secara fisik, tapi juga mental.Â
Sebaliknya, mereka yang mampu bertahan biasanya memiliki sesuatu untuk diperjuangkan---entah cinta kepada keluarga, pekerjaan yang ingin diselesaikan, atau bahkan sekadar harapan untuk menceritakan kisahnya pada dunia.
Dari sinilah Frankl merumuskan pendekatan psikoterapinya yang dikenal sebagai logoterapi, yaitu terapi yang berpusat pada pencarian makna. Ia menolak pandangan Freud yang menyatakan bahwa manusia terutama digerakkan oleh keinginan mencari kesenangan (pleasure principle), maupun pandangan Adler yang menekankan dorongan kekuasaan. Bagi Frankl, motivasi terdalam manusia adalah hasrat untuk menemukan makna dalam hidupnya.
Di tengah gelombang depresi, kekosongan spiritual, dan alienasi yang menjangkiti masyarakat modern, logoterapi menawarkan cara pandang baru. Frankl mengajarkan bahwa penderitaan tidak selalu bisa dihindari, tetapi kita memiliki kebebasan terakhir: memilih sikap terhadap penderitaan itu. Inilah bentuk tertinggi dari eksistensi manusia.
Relevansi dalam Kehidupan Kontemporer
Dalam era digital yang penuh distraksi dan kebisingan, banyak orang merasa kehilangan orientasi. Kita hidup dalam dunia yang kaya secara materi tetapi miskin secara makna. Banyak dari kita dikejar target, standar sosial, dan ekspektasi eksternal, namun tidak lagi bertanya: untuk apa semua ini?
Di sinilah buku ini menawarkan oase.Â
Frankl tidak menjanjikan jalan pintas menuju kebahagiaan. Sebaliknya, ia mendorong kita untuk menerima bahwa hidup sering kali penuh tantangan, tetapi justru dalam penderitaanlah manusia bisa menemukan nilai terdalam. Bukan dengan menghindari rasa sakit, melainkan dengan meresapi, memahami, dan menafsirkan penderitaan itu secara personal.
Frankl menulis, "Those who have a 'why' to live, can bear with almost any 'how'." Kutipan ini menjadi mantra kuat yang menggema di sepanjang bukunya. Ia ingin menyampaikan bahwa menemukan alasan "mengapa" kita hidup adalah hal yang paling fundamental---lebih penting daripada kemudahan, hiburan, atau kenyamanan yang sifatnya sementara.