Mohon tunggu...
Nanang A.H
Nanang A.H Mohon Tunggu... Penulis, Pewarta, dan Aktivis Sosial

Penyuka Kopi Penikmat Literasi

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Rasa Penasaran: Vaksin Psikologis di Tengah Krisis Mental

12 Mei 2025   08:17 Diperbarui: 12 Mei 2025   08:17 87
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dlm dunia psikologi positif, rasa penasaran dikategorikan sbgi salahsatu character strengths yg berperan dlm membangun ketahanan psikologis (Freepik)

 

Di tengah krisis kesehatan mental global yang kian mengkhawatirkan, kita kerap disodori solusi instan: obat penenang, terapi kilat, hingga teknik meditasi populer. Namun, ada satu hal yang kerap luput dibahas padahal begitu esensial dan melekat pada kodrat manusia: rasa penasaran atau rasa keingintahuan. Ia bukan sekadar dorongan kognitif untuk tahu, tetapi bisa menjadi vaksin psikologis alami yang memperkuat daya tahan mental kita terhadap stres, kecemasan, dan stagnasi makna hidup.

Rasa Penasaran/Keingintahuan: Hakikat Dasar Manusia

Sejak manusia pertama menyentuh api, melukis di dinding gua, hingga mengirimkan robot ke Mars, semua dimulai dari rasa penasaran. Namun kini, di era digital yang serba cepat, ketika jawaban bisa didapat dalam dua ketukan jari, rasa penasaran malah menjadi barang langka. Kita tidak lagi bertanya, kita hanya ingin tahu. Padahal, perbedaan itu krusial. Mengetahui adalah produk; penasaran adalah proses --- dan di sanalah letak daya sehatnya.

Dalam dunia psikologi positif, rasa penasaran dikategorikan sebagai salah satu character strengths yang berperan besar dalam membangun ketahanan psikologis (resilience). Rasa penasaran membuat seseorang terlibat aktif dalam hidupnya, tidak pasrah digerus rutinitas. 

Mereka yang penasaran lebih terbuka terhadap pengalaman baru, lebih berani mengambil risiko, dan memiliki tingkat stres yang lebih rendah karena mereka melihat tantangan sebagai teka-teki, bukan ancaman.

Penasaran Melawan Kekosongan Eksistensial

Fenomena krisis makna hidup di kalangan generasi muda, yang kerap disebut sebagai "generation burnout," bukan semata karena tekanan ekonomi atau sosial. Banyak dari mereka merasa hampa, kehilangan arah. 

Mereka hidup, tetapi tidak benar-benar hidup. Inilah yang dijelaskan Viktor Frankl dalam Man's Search for Meaning --- bahwa penderitaan tanpa makna lebih menyiksa daripada penderitaan itu sendiri.

Rasa penasaran menjadi jembatan antara kehampaan dan harapan. Ia mendorong kita untuk bertanya: apa lagi yang bisa kupelajari, kupahami, kusumbangkan? Proses mencari itu sendiri membawa rasa keterlibatan eksistensial, yang menurut para psikolog, sangat penting dalam mencegah gangguan mental seperti depresi.

Dari Pengetahuan Menjadi Kebahagiaan

Sebuah studi di University of California menunjukkan bahwa saat kita merasa penasaran, otak mengaktifkan pusat penghargaan yang sama dengan ketika kita mengalami kesenangan fisik seperti makan atau mendengar musik. Artinya, secara biologis, penasaran itu menyenangkan --- bahkan bisa memicu pelepasan dopamin, hormon kebahagiaan.

Menumbuhkan Penasaran sebagai Gaya Hidup

Sayangnya, sistem pendidikan kita masih terlalu berorientasi pada jawaban, bukan pada pertanyaan. Anak-anak yang terlalu banyak bertanya dianggap mengganggu. Di ruang publik pun, diskusi yang sehat sering digantikan oleh debat dangkal yang penuh ego. Kita perlu mengubah budaya ini. Menjadi bangsa yang ingin tahu, bukan sekadar tahu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun