Setiap akhir tahun ajaran, banyak sekolah di Indonesia menyelenggarakan acara perpisahan dan wisuda. Momen ini dianggap sebagai simbol transisi siswa ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi atau ke fase kehidupan berikutnya. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, muncul perdebatan tentang perlu tidaknya acara ini diadakan. Apakah perpisahan dan wisuda masih relevan dalam konteks pendidikan saat ini, atau justru menjadi beban finansial bagi orang tua?
Tradisi yang Sarat Emosi dan Makna
Secara historis, wisuda dan perpisahan sekolah adalah bentuk apresiasi terhadap pencapaian siswa. Acara ini sering kali menjadi ajang melepas kenangan, mengungkap rasa terima kasih kepada guru, dan mempererat hubungan antarsiswa. Tidak sedikit pula yang memanfaatkan momen ini untuk mengekspresikan harapan dan semangat menghadapi masa depan.
Bagi sebagian besar siswa, momen perpisahan menjadi kenangan berharga. Foto bersama, penampilan seni, hingga sesi saling bertukar kesan dan pesan menjadi pengalaman emosional yang sulit dilupakan. Dalam konteks ini, acara perpisahan memiliki nilai sosial dan psikologis yang tidak bisa diabaikan.
Biaya yang Tak Sedikit dan Potensi Pembebanan
Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa pelaksanaan acara perpisahan dan wisuda sering kali memerlukan biaya besar. Sewa gedung, jasa fotografer profesional, seragam khusus, konsumsi, dan dekorasi bisa menghabiskan ratusan ribu hingga jutaan rupiah per siswa. Di sinilah muncul masalah: tidak semua keluarga mampu mengalokasikan anggaran tambahan untuk keperluan seremonial semacam itu.
Banyak orang tua yang merasa keberatan ketika sekolah seakan "mewajibkan" partisipasi dalam acara perpisahan yang mahal. Mereka mengeluhkan minimnya transparansi penggunaan dana dan kurangnya opsi bagi siswa dari keluarga kurang mampu. Bahkan, di sejumlah daerah, muncul desakan agar pemerintah daerah dan dinas pendidikan turun tangan mengatur agar tidak ada pungutan yang bersifat memaksa.
Tanggapan Pemerintah dan Kebijakan Daerah
Menanggapi keluhan masyarakat, beberapa pemerintah daerah telah mengeluarkan kebijakan melarang pungutan biaya untuk perpisahan dan wisuda di sekolah. Dinas Pendidikan di berbagai provinsi menegaskan bahwa wisuda bukan bagian dari kurikulum dan tidak boleh diwajibkan. Acara semacam itu hanya boleh diselenggarakan jika bersifat sukarela, sederhana, dan tidak memberatkan wali murid.
Langkah ini patut diapresiasi sebagai bentuk perlindungan terhadap hak siswa dari keluarga ekonomi menengah ke bawah. Pendidikan seharusnya tidak menciptakan beban sosial tambahan, apalagi dalam bentuk kegiatan yang sebenarnya bersifat simbolik.
Alternatif: Acara Sederhana namun Bermakna
Daripada membebani orang tua, mengapa tidak menyelenggarakan acara perpisahan secara sederhana di lingkungan sekolah? Misalnya, membuat kegiatan reflektif di kelas, menyusun buku kenangan bersama, atau menggelar pentas seni kecil-kecilan yang disiapkan secara mandiri oleh siswa. Acara seperti ini tetap bisa mengandung nilai emosional dan kebersamaan tanpa biaya tinggi.
Di era digital, siswa juga bisa mengabadikan momen perpisahan lewat video kreatif atau album foto online yang lebih hemat dan tetap menyentuh. Ini juga bisa menjadi sarana pembelajaran teknologi dan kolaborasi yang relevan dengan kebutuhan zaman.
Refleksi: Apa yang Ingin Kita Rayakan?
Pada akhirnya, kita perlu bertanya: apa sebenarnya yang ingin dirayakan dari sebuah perpisahan atau wisuda sekolah? Jika tujuannya adalah merayakan pencapaian akademik, bukankah cukup dengan pembagian rapor dan kelulusan resmi dari sekolah? Jika ingin mengapresiasi guru dan teman-teman, bukankah itu bisa dilakukan dalam bentuk yang lebih inklusif dan murah?