Rencana pemerintah melalui Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) untuk menghidupkan kembali sistem penjurusan di tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA) memicu berbagai respons di kalangan masyarakat, pendidik, hingga pemerhati pendidikan.Â
Kebijakan ini rencananya akan mulai diterapkan pada Tahun Ajaran 2025/2026, dengan membagi siswa kembali ke dalam tiga jurusan utama: IPA, IPS, dan Bahasa. Padahal, penghapusan penjurusan baru saja dilaksanakan secara penuh pada tahun ajaran 2024/2025 melalui Kurikulum Merdeka.
Keputusan ini menimbulkan pertanyaan besar: apakah menghidupkan kembali sistem penjurusan merupakan langkah tepat, atau justru kemunduran dalam dunia pendidikan Indonesia?
Latar Belakang Penjurusan dan Kurikulum Merdeka
Sistem penjurusan di SMA telah lama menjadi bagian dari struktur pendidikan di Indonesia. Selama bertahun-tahun, siswa kelas 10 akan diarahkan ke jurusan IPA, IPS, atau Bahasa pada tahun kedua mereka. Namun, sistem ini dinilai memiliki kelemahan, terutama dalam membatasi ruang gerak siswa untuk mengeksplorasi minat dan bakat mereka.
Pada masa Menteri Nadiem Makarim, sistem ini digantikan oleh Kurikulum Merdeka, yang menghapus penjurusan dan memberikan kebebasan bagi siswa untuk memilih mata pelajaran sesuai dengan minat dan tujuan karier mereka. Tujuan utamanya adalah menciptakan lulusan yang lebih adaptif dan siap menghadapi tantangan zaman, termasuk dalam hal lintas disiplin ilmu.
Argumen Pemerintah: Penjurusan untuk Kesiapan Akademik
Dalam pernyataannya, Mendikdasmen Abdul Mu'ti menyampaikan bahwa penjurusan diperlukan kembali demi memperkuat kesiapan akademik siswa, terutama terkait seleksi masuk perguruan tinggi. Ia menyoroti kasus siswa jurusan IPS yang diterima di Fakultas Kedokteran namun mengalami kesulitan dalam mengikuti perkuliahan karena kurangnya dasar sains.Â
Oleh sebab itu, pengembalian jurusan dianggap sebagai upaya untuk mengarahkan siswa sejak dini sesuai kompetensi akademiknya.
Lebih jauh lagi, pemerintah memperkenalkan Tes Kemampuan Akademik (TKA) yang akan menjadi bagian penting dalam proses pembobotan seleksi masuk perguruan tinggi tanpa tes.Â
TKA ini, meskipun tidak wajib, diyakini akan menjadi alat ukur yang penting dalam menilai kesiapan akademik siswa berdasarkan jurusan mereka.
Tanggapan Publik dan Pendidik
Tidak semua pihak sepakat dengan rencana ini. Beberapa pemerhati pendidikan menganggap kebijakan tersebut sebagai langkah mundur yang berisiko bagi masa depan siswa. Mereka menilai bahwa siswa SMA masih berada dalam fase pencarian jati diri, sehingga pembatasan pilihan melalui penjurusan bisa menghambat potensi mereka.