Di tengah era digital yang serba cepat dan mudah diakses, Generasi Z---kelompok usia yang lahir antara pertengahan 1990-an hingga awal 2010-an---memiliki akses luar biasa terhadap informasi politik. Namun, kemudahan ini justru melahirkan tantangan baru yang tak kalah kompleks: banjir informasi yang tidak selalu disertai dengan literasi media yang memadai.
Dalam keseharian, Gen Z bersentuhan langsung dengan berbagai kanal informasi: media sosial, portal berita daring, forum diskusi, hingga aplikasi berbasis AI.Â
Sayangnya, akses tersebut tidak serta-merta menjamin kualitas pemahaman mereka terhadap dunia politik. Alih-alih tercerahkan, banyak dari mereka justru terjebak dalam pusaran informasi yang bias, dangkal, atau bahkan menyesatkan.
1. Kemudahan Akses vs Validitas Informasi
Salah satu tantangan terbesar Gen Z adalah membedakan informasi yang valid dengan yang bersifat hoaks atau propaganda politik. Di media sosial seperti TikTok, Twitter (X), dan Instagram, informasi sering kali dikemas dalam format singkat, visual yang menarik, dan cenderung provokatif.Â
Hal ini membuat narasi politik menjadi lebih "konsumtif", namun tidak selalu informatif.
Banyak dari mereka menyerap informasi tanpa melakukan verifikasi ulang, karena algoritma media sosial cenderung memperkuat apa yang ingin dilihat pengguna, bukan apa yang seharusnya mereka ketahui.Â
Akibatnya, Gen Z bisa saja terperangkap dalam echo chamber---ruang gema digital yang mengulang-ulang pandangan searah dan memperkuat bias pribadi.
2. Influencer Politik dan Efek Bubble
Munculnya influencer politik menjadi fenomena baru yang mewarnai lanskap informasi Gen Z. Figur-figur ini, meski bukan akademisi atau pakar kebijakan, kerap dianggap sebagai panutan hanya karena memiliki jutaan pengikut. Pendapat mereka sering diterima mentah-mentah, tanpa pertimbangan logika atau fakta pendukung.
Pengaruh ini semakin kuat karena diselimuti oleh algoritma platform digital, yang hanya menampilkan konten sejenis. Dalam jangka panjang, hal ini membuat Gen Z hanya mendapatkan satu sisi narasi, tanpa memiliki ruang untuk melihat perbedaan sudut pandang. Politik menjadi soal "siapa yang lebih disukai", bukan lagi tentang gagasan dan kebijakan.
3. Kurangnya Kurikulum Literasi Politik di Pendidikan Formal
Sistem pendidikan formal di Indonesia belum sepenuhnya mengakomodasi kebutuhan literasi politik digital. Pelajaran kewarganegaraan sering kali hanya mengajarkan teori dasar sistem pemerintahan dan UUD, tanpa mengaitkannya dengan konteks digital kekinian.Â