Mohon tunggu...
Nanang A.H
Nanang A.H Mohon Tunggu... Pewarta

Penyuka Kopi Penikmat Literasi// Scribo Ergo Sum

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Adab dan Ilmu: Perspektif Psikologi dan Sosial dari Kasus Viral Gus Miftah

4 Desember 2024   16:23 Diperbarui: 4 Desember 2024   16:34 834
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tangkapan layar video Gus Miftah ketika mengolok-olok seorang penjual es teh saat memberikan pengajian di Magelang (20/11) (sumber:Kompas)

Kejadian viral yang melibatkan Gus Miftah dan penjual es teh membuka ruang diskusi mengenai pentingnya adab dalam menyampaikan ilmu, terutama di hadapan publik. Sebagai figur yang dikenal luas, tindakannya dinilai bertentangan dengan etika sosial dan nilai-nilai Islam. 

Kasus ini menarik untuk dianalisis dari perspektif ilmiah, khususnya psikologi dan sosiologi, yang menyoroti hubungan antara komunikasi, adab, dan dampaknya terhadap masyarakat.

Komunikasi dan Konteks Sosial

Dalam konteks komunikasi publik, setiap pesan yang disampaikan memiliki dua elemen penting: isi dan cara penyampaiannya. Teori komunikasi interpersonal menyatakan bahwa efektivitas komunikasi tidak hanya bergantung pada apa yang disampaikan tetapi juga bagaimana hal itu diterima oleh audiens. 

Ketika Gus Miftah mengomentari penjual es teh dengan gaya ceplas-ceplos, niatnya mungkin guyonan atau candaan. Namun, dalam situasi publik, komentar seperti ini dapat dengan mudah ditafsirkan sebagai penghinaan.

Menurut psikologi sosial, persepsi individu terhadap penghinaan dipengaruhi oleh status sosial dan konteks. Dalam kasus ini, posisi Gus Miftah sebagai tokoh agama meningkatkan ekspektasi masyarakat terhadap kata-kata dan tindakannya. Ketika komentar dianggap tidak sesuai, hal ini memicu reaksi negatif, sebagaimana terlihat dari kritik warganet.

Adab dan Nilai Moral dalam Islam

Adab, atau etika, adalah pilar penting dalam tradisi Islam. Imam Malik bahkan pernah mengatakan, “Belajarlah adab sebelum ilmu.” Dalam konteks ini, adab mengacu pada sikap saling menghormati, menjaga perasaan, dan memperhatikan konteks sosial. Rasulullah SAW terkenal karena kelembutan ucapannya yang tidak pernah merendahkan orang lain, bahkan dalam situasi sulit.

Gaya komunikasi yang kurang beradab dapat menciptakan ketidakharmonisan sosial. Penjual es teh dalam peristiwa ini menunjukkan ekspresi malu dan tersinggung, sebagaimana diungkapkan beberapa saksi. Psikologi menunjukkan bahwa penghinaan di depan umum dapat memengaruhi harga diri individu, mengakibatkan rasa rendah diri atau stres.

Dampak Sosial dari Figur Publik

Figur publik memiliki pengaruh besar terhadap pola pikir masyarakat. Dalam sosiologi, ini dikenal sebagai role modeling, di mana tindakan tokoh masyarakat menjadi contoh bagi pengikutnya. 

Ketika Gus Miftah, sebagai ulama, menyampaikan komentar yang dianggap menghina, hal ini tidak hanya memengaruhi hubungan antara dirinya dan penjual es teh tetapi juga memperlemah kepercayaan masyarakat terhadap otoritasnya sebagai pendakwah.

Efek ini diperkuat oleh kekuatan media sosial sebagai ruang diskusi publik. Dalam era digital, peristiwa kecil dapat menjadi isu besar karena viralitasnya. Respons netizen yang meluas terhadap kejadian ini menunjukkan pentingnya etika dalam komunikasi publik. Jika tidak, tindakan kecil dapat berdampak pada reputasi seseorang dan harmoni sosial secara keseluruhan.

Empati sebagai Solusi

Empati adalah kunci untuk membangun komunikasi yang efektif dan harmonis. Dalam psikologi, empati diartikan sebagai kemampuan memahami dan merasakan apa yang dirasakan orang lain. Jika Gus Miftah mampu mempraktikkan empati dengan menghargai perjuangan penjual es teh, komentarnya mungkin akan diterima dengan lebih positif.

Penjual es teh, sebagai bagian dari kelompok masyarakat yang berjuang mencari nafkah, adalah cerminan realitas sosial Indonesia. Kesulitan ekonomi yang mereka hadapi membutuhkan dukungan, bukan kritik. Dari perspektif kebijakan sosial, memberikan dorongan kepada kelompok marginal dapat meningkatkan solidaritas dan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan.

Adab sebagai Fondasi Ilmu

Kasus ini mengajarkan bahwa ilmu, tanpa adab, kehilangan nilai dan relevansinya dalam masyarakat. Sebaliknya, ilmu yang disampaikan dengan adab memiliki potensi untuk membangun hubungan positif dan memperkuat harmoni sosial. Sebagai masyarakat, kita juga diajak untuk belajar memaknai kritik secara konstruktif, bukan hanya sebagai penghukuman, tetapi juga sebagai kesempatan untuk introspeksi.

Dengan demikian, mari jadikan peristiwa ini sebagai pengingat akan pentingnya adab dalam setiap aspek kehidupan, terutama dalam menyampaikan ilmu di ruang publik. Kombinasi ilmu dan adab adalah fondasi untuk membangun masyarakat yang lebih baik, penuh penghormatan, dan empati.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun