Rumah makan geratis menjadikan kota kecil primadonanya negara. Upah dari dua puluh empat jam sirkuit amal jariah yang berputar tak berjeda, menyerta suasana ramai ayun senyum sumringai tak dihentikan para pengunjung di sana.
Hormat termulia kepada senyum pramusaji bak bidadara bidadari. Sanjung kecup tak henti dari sesisi semesta kepada pemilik niat-niat yang indah, Masyaallah ...
Sisi lain sosok lakon tema puisi ini berada di sudut sepi. Lembab terhias dibalik jendela yang baru tersingkap. Intip kakek tua begitu tertarik, tertegun pada peristiwa yang menarik matanya ke alam yang dianggapanya liar.Â
Senior di usia rehat, masih teringat pengalaman yang membekas di antara luka-luka yang tak pernah pulih dan tak pernah bisa pudar
Sudut pandang berbeda dari sang kakek. Degum irama rutinitas kakek teguk arak melirik nuansa depan rumah ranum namun dipandang benci. Terbesit seketika ingatan pribadi berkumandang, mengucur sakit menyengat hati di tubuh yang renta
Meratapi tema nuansa hangat yang telah hilang tak kunjung habis, tak pernah pudar, tak henti rasa perih mengetuk sapa usang diari lamanya. Kemilau dunia semakin hambar. Megah cinta yang terhampar semakin terasa dikit. Hitamnya sebatang kara membuatnya harus meniup klausa sederhana, menerbangkan pesan-pesan kecil perasaan teruntuk masa depan yang disemogakan masih ada;
hospital !Â
lupa arah
 menggodaÂ
Gontai tubuh berdiri datangi tikar tipis di atas ubin-ubin dingin, seharian terhujani rasa sesak menambahkan uban-uban di kesendirian.Â