Saat buana biru kudapati
Tiada terhitung banyak puji dan puja
Saat belum usai kurasakan tingginya langit
Saat belum habis kuhayati lebarnya mega
Tiada sedetik hati sembunyi mengepal hasad
Meski tak pernah kulihat tiang ada telah menopangnya; menopang parameter gradasi lintang jagat raya
Bila perasangka lebih dahulu menghasut
Praduga insani tentu bisa memagut
Meski basah, aku memang tak pernah takut, sewaktu pradini dengan tebalnya kabut mendekap hangatnya kulit
Aku sadar bahwa nuansa janari terusir rona matahari, dan perlahan mengusir kenyamanan di lena rebah para makhluk yang sedang tertidur
Lidah tak bisa lagi berpura menjadi kelu; agar terbilang lupa bahwa pernah merasakan pahitnya masa lalu
Mata tak lagi berpura menjadi buta; agar terbilang lupa bahwa pernah memandang parade putih dan halusnya tubuh parade pengobral dosa
Kendati netra tiba memanah
Kendatipun lidah lebih perasa
Mungkin aku masih tidak lagi mengenali wajah dengan waras
Sebab tidak lagi pandai merekap segala keberadaan halusnya rasa
Aku pulang dari petualangan mimpi tadi malam
Gerimis tahu aku mudah untuk menangis
Membangunkan hati untuk menghayati dosa yang tenggelam Â
Tetiba niat tidak lagi dapat bersembunyi
Tetiba jantung berdenyut sadarkan apa yang telah terbendung
Terbungkam terlalu lama, aku tidak ingin
Kuinginkan meneguk khamar di darul muttaqin
Andai kata kumiliki sebuah tabung dosa
Andai kata kumiliki gudang-gudang kesalahan
Andai kata, dimensi khusus kumiliki untuk menampung banyaknya noda
Entah, apa jadinya jiwa
Bilamana dosa selalu kuanggap lumrah
Entah, apa jadinya wajah
Bilamana dosa selalu kuanggap bukan hantu yang menakuti aku di masa depan
Tanggerang, 22 Juni 2021
____________________________