Cahaya tak pernah berkata untuk padam meski bumi di bawah terang merasakannya. kini hanya teracuhkan, mungkin karena hanya paparan tanah yang hanya terlihat lemah tengah mengadah; mengemis, menatap langit tanpa bicara
Keringmu merindukan basah, menanti rindangnya kekasih lama. Benar, tulusnya hujan memang sangat membekas, juga kini sahaja dinantikan jejeran kembang dan bunga harapan baru
Tentang patahan pena yang sebab tak sanggup lagi menuliskan manuskrip berisi kelusuhan hidup di jalan. Telah ada padanya makna kehilangan dari saban hari yang di nantikan, bahkan saban waktu di bayangi. Sungguh, habislah dirimu digerayangi resah dan gelisah manakala hening dan sepi melingkari ocehan sabda di dalam kepala.
Mungkin telah ada nada lain menjadi langganan, pemanis narasi pada iramanya yang tanggal. Namun selalu tiada yang lain selain kekecewaan yang sangat mendalam adalah peran aktif bomerang yang terundang manis nanti, biarkan alam turut mendengarkan kesalahan yang terlupakan
Bukankah jadi sebegitu sakit menunggu pesan yang tak terbalaskan, dari lelah yang banyak meratapi kesempatan yang tertinggal, hingga berbunga pedih tertusuk sulur duri di kesempitan. Antri dan duduklah bersama renungan di gelap dan sempit perasaan bersama hujan, badai, dan bisik angin di bangku taman
Seberapa sulit melupakan lubang yang tersudut dan seberapa besar angan yang mampu hingga melukis bintang-bitang? Rasanya Ingin kujentik jari lalu meraba langit meski harus menutupi aib fiksi cahaya lama, semoga lain hari dapat aku mendorongmu lebih keras, demi memperbaharui rasa yang terdalam
Created By : Nahar
Tanggerang, 26 Januari 2021
_________________________________