Mohon tunggu...
Naftalia Kusumawardhani
Naftalia Kusumawardhani Mohon Tunggu... Psikolog - Psikolog Klinis (Remaja dan Dewasa)

Psikolog Klinis dengan kekhususan penanganan kasus-kasus neurosa pada remaja, dewasa, dan keluarga. Praktek di RS Mitra Keluarga Waru. Senang menulis sejak masih SMP dulu hingga saat ini, dan sedang mencoba menjadi penulis artikel dan buku.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Menyoal Pandangan terhadap LGBT Berdasarkan Jarak Sosial (1)

13 Februari 2016   11:41 Diperbarui: 13 Februari 2016   16:03 2016
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Akhir-akhir ini LGBT menempati topik pembicaraan di media sosial. Pendapat pro kontra bermunculan. Ada yang setuju dengan keberadaan mereka dengan alasan utama kemanusiaan, ada yang menentang karena tidak sesuai dengan norma sosial dan ajaran agama dan ada yang netral karena tidak berkaitan dengan kaum LGBT. Kejelasan bersikap itu menciptakan jurang pemisah antara satu kelompok dengan kelompok lainnya. Apalagi ada yang menengarai bahwa komunitas LGBT sedang melakukan gerakan masif untuk meneguhkan keberadaan mereka di bumi Nusantara ini. Otomatis muncul gerakan kontra. Gelombang arus lawan bermunculan, dengan mengingatkan para orangtua untuk waspada.

Memang kita perlu punya kejelasan sikap agar kita sendiri jelas tentang apa yang kita perjuangkan, yang kita terapkan dalam kehidupan sehari-hari, dalam mendidik anak, dan aspek kehidupan lainnya. Tapi bukan hal mudah untuk menentukan sikap hendak berdiri di sebelah mana. Salah satu penyebabnya adalah posisi. Mungkin posisi yang agak riskan dalam menentukan sikap adalah kelompok profesi seperti saya ini..hehe.. Sesuai tuntutan profesi, kami harus bersikap terbuka terhadap siapapun yang datang membutuhkan pertolongan, namun tidak bisa dipungkiri individu dibalik baju profesinya memiliki peran lain. Bisa saja dia seorang ibu, ayah, saudara, suami, istri, anak, dan sebagainya. Dan tiap individu tersebut dibesarkan dengan keyakinan dan norma tertentu yang bisa jadi bertentangan dengan isu yang sedang menghangat itu.

Kerap saya amati bahwa penggiat HAM menyerukan bahwa LGBT bukan orang-orang yang harus dijauhi, mereka juga punya hak asasi untuk hidup sebagaimana manusia lainnya. Satu sisi hal itu sangatlah benar (absolutely right), tidak diragukan lagi. Tapi bagaimana hak asasi manusia lainnya? Apakah manusia lainnya tidak berhak hidup dalam lingkungan sosial yang nyaman, tanpa rasa cemas? Apakah para orangtua tidak punya hak untuk menikmati masa mendidik anak tanpa takut adanya ancaman bahwa anaknya akan berciuman dengan sesama jenisnya? Masih banyak pertanyaan dalam benak saya. Namun untuk memilah bagaimana kita harus bersikap, saya menggunakan panduan skala jarak sosial dari Bogardus. Agar kita jelas sedang berjuang terhadap apa dan bagaimana.

Jarak Sosial

Menurut Bogardus, tiap individu mempunyai suasana psikologis dalam berinteraksi dengan individu lainnya. Sejauh mana orang itu menerima atau menolak kelompok orang lainnya. Penerimaan atau penolakan ini diukur melalui bentuk interaksi sosial yang ada, yaitu mulai dari sesama warga negara hingga ke hubungan pernikahan. Ada 7 indikator jarak sosial sebagai berikut :

1. Keluarga dekat melalui pernikahan (1.00)
2. Sebagai teman dekat (2.00)
3. Sebagai tetangga (3.00)
4. Sebagai mitra kerja (4.00)
5. Sebagai Warga Negara (5.00)
6. Sebagai pengunjung di negaranya (6.00)
7. Ditolak masuk negaranya (7.00)

Makin tinggi angkanya, maka makin jauh jarak sosial individu tersebut dengan kelompok lainnya. Masing-masing indikator masih dapat dikembangkan sesuai persoalan sosial yang hendak diungkap. Misalnya untuk indikator pertama : keluarga dekat karena pernikahan, dapat dijabarkan dalam beberapa aspek lagi :

- Apakah akan menikahi (kelompok issue)
- Apakah akan menikahkan anak dengan (kelompok issue)
- Apakah akan menerima saudara ipar dari (kelompok issue)
- Apakah akan menerima keponakan yang berasal dari (kelompok issue)

Kelompok issue di sini dapat berupa ras, etnis, agama, mayoritas, minoritas, dan juga pandangan terhadap kaum LGBT. Bagaimana secara keseluruhan masyarakat bersikap terhadap fenomena LGBT ini? Kita akan mulai dari jarak sosial terjauh.

Penolakan/Penerimaan untuk Masuk Ke Indonesia

Bagi mereka yang menyerukan penolakan terhadap kaum LGBT, apakah yang ditolak itu manusianya atau komunitas atau isu legalitas pernikahan sesama jenisnya? Bagi mereka yang menerima dan berjuang agar keberadaan LGBT diterima di Indonesia, apakah yang diterima itu menyangkut individunya yang mengalami perbedaan orientasi seksual berbeda ataukah organisasinya ataukah persamaan dalam hal aspek kehidupan pernikahan?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun