Mohon tunggu...
Naftalia Kusumawardhani
Naftalia Kusumawardhani Mohon Tunggu... Psikolog - Psikolog Klinis (Remaja dan Dewasa)

Psikolog Klinis dengan kekhususan penanganan kasus-kasus neurosa pada remaja, dewasa, dan keluarga. Praktek di RS Mitra Keluarga Waru. Senang menulis sejak masih SMP dulu hingga saat ini, dan sedang mencoba menjadi penulis artikel dan buku.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Disonansi Kognitif, Makin Lebar Makin Menderita

28 Juni 2017   04:24 Diperbarui: 13 April 2022   13:11 14297
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Seringkali perspektif baru yang mendukung kenyamanan psikologisnya akan mendapatkan peluang mengubah lebih besar. Ada klien laki-laki yang yakin kalau cara pacaran yang baik adalah menghindari hubungan seksual sebelum menikah. Kenyataannya dia mendapatkan pacar (perempuan!) yang sudah pernah berhubungan seksual sebelumnya dan kini "aktif" merayunya. Disonansi kognitif terjadi. Antara rasa sayang pada pacar dan keyakinannya. 

Pertanyaan saya ke klien sederhana saja : Mana yang lebih penting dalam hidupmu? Mengapa hal itu penting? Jawaban dari dua pertanyaan itu membuat dirinya yakin akan memutuskan apa. Saya juga lega karena raut wajahnya lebih cerah daripada awal dia datang konseling. Dan yang penting, dia memilih untuk bertindak benar sesuai ajaran agamanya. 

Seberapa Kuat Disonansi Kognitif Agar Bisa Berubah?

Well, tergantung pada dua hal yaitu tingkat kepentingan dan banyaknya kognitif yang disonan (tidak selaras) dibandingkan dengan pemikiran yang konsonan (selaras). Kalau tingkat kepentingannya tinggi, kesenjangan makin lebar. Seorang ayah yang harus menyekolahkan 6 anaknya akan memilih bertahan dalam suatu perusahaan sekalipun dia tidak kerasan di sana. Wanita yang mementingkan image positif dari lingkungan akan bertahan dalam pernikahan sekalipun terjadi KDRT pada diri dan anak-anaknya. Demi bergaya hidup mewah dan meraih label sukses dari lingkungan, seseorang memilih untuk korupsi meskipun ia tahu korupsi itu haram hukumnya (eh belum ada fatwanya ya?). 

Faktor berikutnya rasio jumlah kognisi disonan dengan kognisi konsonan. Bingung ya? Sama dong.. Bentar saya minum dulu ya.. Misal nih ada orang yang mikir kalau bantu pengemis itu berpahala sehingga dia selalu memberikan uang pada pengemis di mana pun ia menemui pengemis, lalu dia tahu besarnya penghasilan pengemis, kebijakan pemerintah tentang memberikan uang pada pengemis, serta dampak sosial akibatnya banyaknya pengemis, kemungkinan besar dia tidak akan memberi uang pada pengemis lagi. 

Jumlah pikiran disonan lebih sedikit dibandingkan dengan pikiran/pengetahuan yang konsonan. Orang itu akan mengalihkan bantuannya pada pihak lain yang benar-benar membutuhkan. Maka disonansi kognitifnya lenyap. Intinya bila pemikiran yang mendukung perilaku lebih banyak dibandingkan yang tidak mendukung, maka perilaku akan bertahan. 

Sepertinya tulisan ini mencapai batas akhirnya. 

Semoga bermanfaat. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun