Mohon tunggu...
Naftalia Kusumawardhani
Naftalia Kusumawardhani Mohon Tunggu... Psikolog - Psikolog Klinis (Remaja dan Dewasa)

Psikolog Klinis dengan kekhususan penanganan kasus-kasus neurosa pada remaja, dewasa, dan keluarga. Praktek di RS Mitra Keluarga Waru. Senang menulis sejak masih SMP dulu hingga saat ini, dan sedang mencoba menjadi penulis artikel dan buku.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Masa Tua di Panti Jompo: Antara Mitos dan Kebutuhan

5 Februari 2016   21:05 Diperbarui: 6 Februari 2016   04:07 1165
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Sumber Gambar : Tribunnews.com | SURYA/HABIBUR ROHMAN"][/caption]Tidak bisa dipungkiri anggapan negatif terhadap keluarga yang meninggalkan orangtuanya di panti jompo. Masyarakat kita masih menjunjung tinggi nilai-nilai kekerabatan dan kekeluargaan, bukan individualistis. Anak harusnya merawat orangtuanya setelah mereka tua. Tapi bagaimana bila orang tua tersebut tidak memiliki anak kandung dan tidak mau tinggal bersama keluarganya yang lain?

Kondisi itu kami alami. Bibi saya yang sudah lama hidup sendiri ingin tinggal di panti jompo. Suaminya sudah meninggal bertahun-tahun yang lalu. Mereka berdua tidak memiliki anak. Hanya ada keponakan yang sempat mereka rawat, tapi semuanya kini telah berkeluarga. Saya sendiri tidak pernah terlibat dalam kehidupan bibi saya hingga akhirnya ayah meminta anak-anaknya untuk membantu adiknya tersebut untuk tinggal di panti jompo. Tawaran untuk tinggal bersama kakaknya (ayah saya) tidak diterimanya. Ia berpendapat kalau tinggal di panti jompo lebih terjamin dan terawat. Ya sudahlah.

Panti jompo yang dipilihnya memang terkenal bagus dalam hal perhatian, keteraturan, kenyamanan dan fasilitas perawatannya. Selain itu penghuni panti jompo tersebut cukup banyak, ada sekitar 70 orang tua baik laki-laki maupun perempuan. Ada yang berkeinginan masuk sendiri seperti bibi saya, ada yang dititipkan di sana karena keluarganya tidak ada yang mampu menampung, ada yang tidak punya keluarga samasekali, dan sebagainya.

Awal menghantarkan bibi saya, kami (adik dan saya) merasa ada yang aneh. Seolah-olah kami "membuang" anggota keluarga ke tempat tersebut. Namun setelah melihat kegigihan bibi saya, perlahan rasa tidak nyaman itu hilang. Bukan hanya kami yang mengalami rasa itu, tapi hampir seluruh tetangga kampung di mana bibi saya tinggal. Mereka menangisi kepergian bibi saya ke panti jompo seolah-olah bibi saya minggat ke planet lain yang tidak berpenghuni, gelap dan hampa udara. Berlebihan sepertinya..hehe..

Mempersiapkan Secara Psikis

Sebelum benar-benar tinggal di panti jompo, saya memutuskan untuk mempersiapkan bibi saya secara psikis. Memang keinginan tinggal di sana adalah kehendaknya, tapi tetap perlu diberikan gambaran dan bagaimana ia nanti mampu beradaptasi.

Pada dasarnya calon penghuni panti jompo perlu memikirkan 2 hal berikut ini :

1. Hilangnya privasi akan barang-barang pribadi dan kebiasaan

Sekalipun penghuni mendapatkan satu kamar sendiri (yang biasanya jarang ada karena aspek keamanan dan kesehatan), mereka akan kehilangan privasinya. Kebebasan yang dimiliki di rumah sendiri tidak akan didapatkan di panti jompo. Mereka harus berbagi banyak hal, mulai dari meja, kursi, kamar mandi, hingga udara dalam kamar. Bagi orang tua yang tadinya memiliki rumah sendiri, kehilangan privasi ini merupakan persoalan cukup signifikan. Kalau di rumah sendiri, ia bebas meletakkan barang-barangnya di sembarang tempat, menyimpan sejumlah barang kenangan tanpa seorang pun tahu, dan bebas meletakkan handuk basah di mana saja, maka di panti jompo ia tidak akan bisa melakukan semuanya seperti itu.

Segala gerak geriknya diawasi dan dikomentari oleh sesama penghuni. Kebiasaan lama terpaksa dikompromikan, kalau tidak akan memancing perselisihan. Bukan hal yang mudah bagi orang lanjut usia untuk berubah. Poin tentang privasi ini saya ceritakan pada bibi saya. Saya gambarkan pula bagaimana ia harus beradaptasi dengan teman sekamarnya. Barang-barangnya pun tidak bisa dibawa semuanya, harus dipilih karena tempatnya terbatas.

2. Penyesuaian diri dengan banyak orang

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun