Mohon tunggu...
Aslıhan Gül
Aslıhan Gül Mohon Tunggu... Freelancer - Content creator

Traveler, explorer, and content writer

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Filosofi Berbuat Baik tanpa Menjadi People Pleaser

2 November 2022   21:18 Diperbarui: 2 November 2022   21:49 578
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Memasuki era dirubsi media, kemudahan mengakses informasi banyak berkontribusi dalam membentuk kesadaran masyarakat. Salah satunya adalah topik mental health. Walaupun pada akhirnya banyak yang menyebut generasi sekarang dengan istilah generasi strawberry. Generasi yang dianggap sedikit-sedikit rapuh, karena mendiagnosa diri sebagai anak yang salah pengasuhan atau terjebak di lingkungan toxic.

Terlepas dari itu semua, ada acungkan jempol untuk generasi sekarang yang lebih peka terhadap persoalan mental health. Bukan karena merasa ada "kekurang tepatan" dalam pengasuhan, namun lebih kepada mampu mendefinisikan apa yang mereka rasakan. 

Generasi sebelumnya pun juga tidak sedikit yang mengalami persoalan mental health, namun mereka kesulitan dalam mendefinisikan hal tersebut. Generasi yang lebih memilih berdamai dengan masalah pengasuhan karena tantangan lain yang lebih menyita perhatian, seperti situasi politik dan ekonomi masa itu.

Tidak bermaksud untuk berpihak kepada siapa pun, sebab setiap generasi memiliki tantangannya masing-masing, tetapi mencoba untuk melihat sisi yang jarang diperhatikan. Salah satu permasalahan mental illness yang sering dibahas di sosial media adalah people pleaser. Inilah yang akan coba kita kulik berikut.

People pleaser diartikan secara umum sebagai seseorang yang terlalu baik, sehingga selalu mengiyakan permintaan orang sekitar terhadapnya. Orang tipe ini bahkan rela menahan ketidakenakan meskipun kondisinya juga kesulitan. Ia tidak kuasa menolak permintaan apapun dari orang lain sehingga dirinya pun menderita. 

People pleaser sering memilih mengorbankan kebahagiaannya sampai-sampai membuat dirinya burnout. Kalau sudah begini, ia sangat rentan terhadap kondisi depresi, kelehan, bahkan stres berkepanjangan. Dalam kasus berbeda, mereka sering menjadi sasaran orang lain untuk dimanfaatkan karena kepolosannya. 

Oleh karena itu, kebanyakan people pleaser memiliki pemikiran bahwa orang lain juga baik sebagaimana dirinya. Kelemahannya yang paling menonjol adalah tidak dapat mengidentifikasi musuh di dekatnya. 

Maka dari itu, people pleaser juga dianggap sebagai salah satu pemicu persoalan mental. Masalah ini mendapat banyak sorotan dari pemerhati dan influencer karena penderitanya bukan hanya personal, namun komunal.

Treatment paling umum bagi para people pleaser adalah anjuran berani berkata "tidak". Teknik ini sangat manjur, meskipun pada awalnya sulit, namun setelahnya mereka akan terbiasa. Ketidaknyamanan hanya berlaku di awal, dan memang butuh latihan. Ini merupakan langkah awal sebagaimana seseorang ingin merubah habitnya. Diharapkan dengan berani mengatakan "tidak" people pleaser bisa fokus pada urusan yang lebih urgent dan yang sanggup ia lakukan.

Sayangnya, treatment berkata "tidak" itu menjadi narasi lunak dan multitafsir. Dari sinilah muncul masalah lain. Orang-orang individualis terbentuk karena mengabaikan persoalan orang lain yang membutuhkan bantuannya. Selanjutnya lahir tipe materialis, orang yang hanya mau membantu jika mengandung manfaat baginya.

Lantas, berbuat baik menjadi barang mahal yang langka penampakannya. Bukankah fitrah manusia bahkan sejak zaman dahulu saling membantu? Lalu, mengapa tiba-tiba menyusut kuantitasnya?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun