Mohon tunggu...
M.Choirun Nafik
M.Choirun Nafik Mohon Tunggu... Konsultan - Mahasiwa Tanpa Dosa
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Aku bukanlah orang hebat, Tapi ku mau belajar dari orang-orang yang HEBAT. Aku adalah orang biasa, Tapi aku ingin menjadi orang yang LUAR BIASA., Dan aku bukanlah orang yang istimewa, Tapi aku ingin membuat seseorang menjadi ISTIMEWA.,.,

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Akal dan Wahyu

15 Oktober 2020   17:49 Diperbarui: 31 Mei 2021   08:52 1857
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Akal dan Wahyu (Sumber: instructables.com)

Sejatinya argumen-argumen yang dibawa al-Qur'an memang lebih meyakinkan daripada argumen-argumen yang diajukan filsafat, tetapi hal ini bukan menjadi salah satu masalah dalam mencapai pengetahuan sebab diantara keduanya memiliki tujuan yang sama yakni kebenaran. Kebenaran yang diberitakan wahyu tidak berlawanan dengan kebenaran dibawa filsafat, sehingga mempelajari filsafat bukanlah hal yang dilarang Tuhan, sebab teologi merupakan bagian dari filsafat serta umat Islam diharuskan belajar tauhid.

Al-Kindi juga mengatakan bahwa filsafat adalah ilmu tentang kebenaran atau ilmu yang termulia atau tertinggi martabatnya, agama juga mengenai ilmu tentang kebenaran daripada kebenaran itu sendiri, orang yang mengingkari kebenaran, dan oleh karenanya ia menjadi kafir. Dalam risalahnya yang ditunjukan kepada Al-Muktasin ia menyatakan bahwa filsafat adalah ilmu yang termulia serta terbaik dan yang tidak bisa ditinggalkan oleh setiap orang yang berfikir. Kata-katanya ini ditunjukan kepada mereka yang menentang filsafat dan mengingkarinya, karena dianggap sebagai ilmu kafir dan menyiakan jalan kepada kekafiran. Sikap mereka inilah yang selalu menjadi rintangan bagi filosof Islam.17 Jadi disini jelas bahwa menurut Al-Kindi antara akal dan wahyu atau dalam bahasa lain antara filsafat dan agama itu tidak ada pertentangan.

Al-Farabi juga memiliki keyakinan bahwa antara agama dan filsafat tidak ada pertentangan, sebab baginya kebenaran yang dibawa wahyu dan kebenaran filsafat hakikatnya satu, walaupun bentuknya berbeda. Dua dasar yang dipakai al- Farabi dalam mengusahakan keharmonisan antara agama dan filsafat., yakni, pertama mengadakan keharmonisan antara filsafat Aristoteles dan Plato sehingga sesuai dengan dasar-dasar Islam, dan kedua, pemberian tafsiran rasional terhadap ajaran-ajaran islam.

Penafisiran rasional yang dipakai al-Farabi dimaksudkan untuk meyakinkan orang- orang yang tidak percaya akan kebenaran ajaran-ajaran agama. Dalam penjelasan rasional tentang adanya wahyu al-Farabi menggunakan konsep komunkasi manusia dengan akal kesepuluh. Di sini Tuhan menurunkan wahyu kepada Nabi melalui akal aktif, lalu dari akal aktif menuju akal pasif melalui akal perolehan setelah itu diteruskan dengan daya penggerak. Bagi orang yang akal pasifnya menerima pancaran disebut filsuf, sedangkan orang yang daya penggeraknya menerima pancaran adalah nabi yang membawa berita tentang masa depan. Hal nipun menuai penjelasan bahwa komunikasi filsuf dengan akal kesepuluh terjadi melalui perolehan, sedangkan komunikasi nabi hanya cukup dengan daya penggerak.

Al-Farabi mengelompokkan akal menjadi akal praktis, yaitu yang menyimpulkan apa yang mesti dikerjakan, dan teoritis yaitu yang membantu menyempurnakan jiwa. Akal teoritis ini di bagi lagi menjadi, yang fisik (material), yang terbiasa (habitual),dan yang diperoleh (acquired). Akal fisik atau yang bisaa disebut al-Farabi sebagai akal potensial, adalah jiwa atau bagian jiwa atau unsur yang mempunyai kekuatan mengabstraksi dan menyerap  esensi  kemaujudan. 

Akal  dalam  bentuk  aksi   atau   kadang   disebut  terbiasa, adalah salah satu tingkat dari pikiran dalam upaya memperoleh sejumlah pemahaman. Karena pikiran tak mampu menangkap semua pengertian, maka akal dalam bentuk aksilah yang membuat ia menyerap. Begitu akal mampu menyerap abstraksi, maka ia naik ke tingkat akal yang diperoleh, yaitu suatu tingkat dimana akal manusia mengabstraksi bentuk-bentuk yang tidak mempunyai hubungan dengan materi.

Filsuf Islam lain yang juga memiliki pandangan bahwa antara akal dan wahyu atau antara filsafat dan agama tidak bertentangan yaitu Ibn Sina, menurutnya nabi dan filsuf menerima kebenaran-kebenaran dari sumber yang sama yakni Jibril, biasa disebut sebagai akal aktif. Perbedaan hanyalah terdapat pada hubungan Nabi dan Jibril melalui akal materi, sedangkan filsuf melalui akal perolehan.

Para filsuf dalam mencapai akal perolehan harus dengan usaha yang keras dan latihan yang berat, adapun Nabi memperoleh akal materi yang dayanya jauh lebih kuat dari akal perolehan. Karena daya yang kuat inilah oleh karena itu Tuhan hanya memberi daya tersebut kepada orang-orang pilihan-Nya. Ibn Tufayl juga berpendapat bahwasanya akal dan wahyu itu tidak bertentangan, dengan konsep Harmonisasinya ia menunjukan kalau akal dan wahyu itu tidak betentangan.

Dalam pencapaian pengetahuan tentang Tuhan terdapat dua jalan untuk mengenal-Nya, yakni, dengan jalan akal atau dengan jalan syari'at. Kedua jalan tidaklah bertentangan, karena akhir dari falsafat adalah pencapaian pada pengetahuan tentang Allah. Harmonisasi filsafat Ibn Thufayl menggambarkan kepada manusia bahwa kepercayaan kepada Allah adalah satu bagian dari fitrah manusia yang tidak dapat disangkal dan bahwa akal yang sehat dengan memehartikan dan merenungkan alam sektarnya tentu akan sampai kepada Tuhan.

Ada pula pendapat dari Ibnu Khaldun, beliau adalah pemikir jenius peletak dasar ilmu sosiologi dan politik. Melalui karyanya Muqaddimah Tuhan membedakan manusia karena kesanggupannya berfikir. Manusia berfikir dengan akalnya, yaitu dalam membuat analisa dan sintesa. Ditegaskan bahwa pertemuan akal dan wahyu  merupakan  dasar  utama  dalam  pembangunan  pemikiran  Islam.   Islam   tidak   membiarkan   akal   berjalan   tanpa arah, karena jalan yang merentang di hadapannya bermacam-macam. Islam menggambarkan suatu metode bagi akal, agar ia  terpelihara  di  atas  dasar-dasar pemikiran  yang  sehat.

Di  antara  unsur-unsur  metode  ini  ialah   seruannya   kepada akal untuk melihat kepada penciptaan langit dan bumi. Sebab, semakin bertambah pengetahuan akal tentang rahasia keduanya, akan semakin bertambah pula pengetahuan (ma'rifah) nya tentang sang pencipta dan pengaturnya. Menurut Ibn Khaldun, pertemuan antara akal dan wahyu membawa banyak disiplin- disiplin ilmu agama, diantaranya Ilmu Qira'at, tafsir, ilmu hadist, ilmu fiqh, ilmu faraid, ilmu khilafiyyah, ushul fiqh dan lain sebagainya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun