Lain halnya bagi Izutzu. 'aqal di zaman Jahiliyah diartikan kecerdasan praktis. Bahwa orang yang berakal mempunyai kecakapan untuk menyelesaikan masalah dan di setiap saat dihadapkan dengan masalah ia dapat melepaskan diri dari bahaya yang dihadapinya. Dengan demikian makna dari 'aqala ialah mengerti, memahami dan berfikir.
Secara comon sense kata-kata mengerti, memahami dan berfikir, semua hal tersebut berpusat di kepala. Hal ini berbeda dari apa yang terdapat dalam al- Qur'an dalam surat al- Hajj, bahwa pemikiran, pemahaman dan pengertian bukan berpusat di kepala tetapi di dada. Bagi izutzu kata al-'aqal masuk kedalaam wilayah flsafat Islam dan mengalami perubahan dalam arti. Dan dengan pengaruh masuknya filsafat Yunani kedalam pemikiran Islam, maka kata al-'aqal mengandung arti yang sama dengan kata yunani, nous.
Falsafat Yunani mengartikan nous sebagai daya berfikir yang terdapat dalam jiwa manusia. Dalam perkembangan zaman moderen pengertian tersebut diyakini bahwa pemahaman dan pemikiran tidak lagi melalui al-qalb di dada tetapi melalui al-'aql di kepala. Adapun seacara istilah akal memiliki arti daya berfikir yang ada dalam diri manusia dan merupakan salah satu dari jiwa yang mengandung arti berpikir.
Bagi Al-Ghazali akal memiliki beberapa pengertian; pertama, sebagai potensi yang membedakan dari binatang dan menjadikan manusia mampu menerima berbagai pengetahuan teoritis. Kedua, pengetahuan yang diperoleh seseorang berdasarkan pengalaman yang dilaluinya dan akan memperhalus budinya. Ketiga, akal merupakan kekuatan instink yang menjadikan seseorang mengetahui dampak semua persoalan yang dihadapinya sehingga dapat mengendalikan hawa nafsunya.
Adapun Wahyu berasal dari huruf waw-a dan y () bermakna "pemindahan pengetahuan dalam keadaan tersembunyi kepada orang lain". Dalam hal ini wahyu bermakna; "isyarat" dari Al-Qur'an dan al-Sunnah. Atau setiap apa yang disampaikan kepada orang lain hingga dia mengetahuinya, maka itu termasuk dalam kategori "wahyu". Dalam kata wahyu terdapat makna penyampaian sabda Tuhan kepada orang pilihan-Nya agar diteruskan kepada umat manusia dalam perjalanan hidupnya baik di dunia ini maupun di akhirat.
Dalam Islam wahyu disampaikan kepada nabi Muhammad saw terkumpul semuanya dalam Al-Qur'an. Dari sisi peruntukannya, wahyu terbagi dalam tiga macam; wahyu yang ditujukan kepada orang khawas dan 'awam; wahyu yang hanya ditujukan kepada orang khawas saja dan wahyu yang ditujukan kepada orang awam saja Semua agama samawi bedasarkan wahyu. Para nabi adalah seoarang manusia yang diberi kemampuan untuk berhubungan dengan Allah.
Wahyu diturunkan kepada nabi Muahmmad dinamakan al-Qur'an. Adapun definisi al- Qur'an adalah kalam Allah SWT yang merupakan mukjizat yang diturunkan kepad nabi Muhammad, dan merupakan petunjuk bagi kehidupan.
PANDANGAN TEOLOG TENTANG AKAL dan WAHYU
Teolog merupakan istilah yang lazim digunakan untuk ahli ilmu kalam. Penulis hanya memfokuskan pada dua aliran teologi yaitu Mu'tazilah dan Asy'ariyah, meskipun sebenarnya masih terdapat aliran-aliran teologi yang lain. Sejatinya dalam persoalan teolog khususnya kedua aliran ini mengacu kepada dua persoalan, yakni kemampuan akal dan fungsi wahyu dalam mengetahui adanya Tuhan serta kebaikan dan kejahatan.
Lalu yang menjadi pertanyaan bisakah akal mengetahui adanya Tuhan? Jika seandainya bisa, lalu bagaimana akal mengetahui kewajiban berterimakasih kepada tuhan? Berkaitan dengan baik dan buruk benarkah akal mengetahui baik dan buruk? Jika iya, bagaimana akal mengetahui bahwa wajib bagi manusia berbuat baik dan wajib mmenjahui yang buruk.? Dalam sejarah pemikiran Islam. Teologi yang disebut oleh tradisi Islam oleh ilmu kalam, berkembang mulai dari abad I H. Adapun aliran teologi yang pertama muncul adalah Mu'tazilah, sedangkan aliran yang kedua Asy'ariyah.
Mu'tazilah adalah golongan yang membawa persoalan-persoalan teologi yang lebih mendalam dan bersifat filosofis daripada persoalan-persoalan yang dibawa kaum Khawarij dan Murji'ah. Dalam pembahasan, mereka banyak memakai akal sehingga mereka mendapat nama "kaum rasionalis Islam". Orang pertama yang membina aliran Mu'tazilah adalah Wasil Ibn Ata'.