Mohon tunggu...
Nafi Ramadhani
Nafi Ramadhani Mohon Tunggu... Desainer - Pencari ilmu yang rajin bermalas-malasan

Fatum Brutum Amorfati

Selanjutnya

Tutup

Diary

Segelas Teh Untuk Bapak

3 Januari 2023   00:45 Diperbarui: 3 Januari 2023   00:58 143
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler

"Kuseduhkan teh hangat untuk bapak, untuk kita berdua nikmati diteras rumah yang seadanya ini. Semoga saja hangatnya tak berakhir hanya digelas kaca, semoga saja hangatnya mampu menembus dinding dingin kita berdua."

Sungguh tak biasa rasanya menulis kalimat demi kalimat untuk bapak. Tapi sudahlah, toh ini hanya akan menjadi tulisan biasa ketika bapak membacanya. Apa kabar pak? bagaimana rasanya menjalani hari diusia senja? Bagaimana hari bapak berjalan? aku harap semua baik-baik saja. Ada yang tak bisa bapak sembunyikan, meski coba bapak pendam dalam-dalam. Uban yang kini kian memenuhi rambut bapak, juga keriput kulit yang menjadi pertanda bahwa bapak sudah jauh melangkah melewati masa muda.

Bahu itu juga terlihat tak sekokoh waktu lalu ketika bapak beberapa tahun lebih muda. Aku juga melihat tatapan lelah bapak, yang diam-diam memejamkan mata sesaat setelah tembakau bapak hisap dalam-dalam. Barangkali pak, diantara teh hangat yang kuseduhkan sore ini bapak dapat melepas lelah dan sementara menaruh beban. Aku menanti keluh kesah bapak, sebagaimana aku sering berkeluh kesah. Tak apa pak, kita sama mengertinya bahwa tak ada yang setiap saat harus kuat.

Ada yang ingin anakmu sampaikan pak, bahwa anakmu ini sedang rindu berlarian kesana kemari, lalu berakhir dengan memelukmu. Seperti saat ia kecil dulu. Ia juga rindu engkau bawakan hadiah kecil-kecilan setiap engkau pulang kerja saat tanggal gajian bapak tiba.

Bapak masih ingat tidak dengan bocah kecil yang memilih berjalan kaki berkilo-kilo kerumah karna bapak lupa menjemputnya pulang latihan. Saat itu bukan ia nekat pak, beberapa orang menawarinya tumpangan namun ia tak mau. Ia yakin bahwa bapaknya akan datang menjemput, namun bapak tak datang sore itu hingga ia memilih jalan berkilo-kilo jauhnya.

Lalu apa bapak ingat bocah kecil yang sumringah kala mendapat juara 3 dalam sebuah kejuaraan di kota kecil tempat kita tinggal? itu pertama kalinya ia memenangkan sebuah kejuaraan. Ia bangga bukan main pak, lembar kertas berwarna kuning itu ia ceritakan kepada seluruh orang yang ditemuinya.

Tak lupa, ia juga menceritakan betapa hebat sosok bapak dalam hidupnya yang telah menemani prosesnya, meski nyatanya bapak itu sering tak hadir. Bapak tau? bahwa bocah kecil itu memimpikan "bapak" hadir dalam tiap langkahnya, namun seringkali bapak lupa dengan bocah kecil itu.

Kini bocah itu tumbuh dewasa pak, melewati banyak masa tanpa ditemani sosok "bapak" yang di dambakannya. Ia memaksa dirinya terus tumbuh, meski hatinya tak begitu kuat. Ia berkali-kali patah, dan juga berkali-kali hancur.

Namun ia kumpulkan puing-puing dari tiap bagian hidupnya yang remuk dan ia rangkai kembali dengan harapan suatu saat ia kembali mendapat rasa hangat yang mengobati semua luka.

Bocah itu adalah aku pak, anakmu  yang berhasil hidup namun tak berhasil tumbuh. Anak yang terjebak dalam dinginnya perangaimu kepadaku.

Sore ini kuseduhkan teh hangat untuk bapak, untuk kita berdua nikmati diteras rumah yang seadanya ini. Semoga saja hangatnya tak berakhir hanya digelas kaca, semoga saja hangatnya mampu menembus dinding dingin kita berdua.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun