Mohon tunggu...
Muhammad Nafi
Muhammad Nafi Mohon Tunggu... Administrasi - Biodata Penulis

Muhammad Nafi, Mahasiswa program doktoral (S3) jurusan Ilmu Syariah di UIN Antasari.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Gender: Wali Hakim Diserahkan kepada Perempuan? Mungkinkah KUA Dipimpin oleh Srikandi? (Part 1)

27 Februari 2020   16:21 Diperbarui: 27 Februari 2020   16:23 106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Isu gender adalah sebuah isu yang sudah lama mengemuka di dunia. Pro kontra tentu saja tidak bisa dihindari. Masih ingatkah kita, ketika pro kontra Aminah Wadud menjadi imam sholat jumat? Masih ingatkah kita ketika kontroversi Megawati menjadi Presiden? Ya... karena dalam negara ada agama, dan agama tidak boleh dipisahkan dari negara. Sebagian orang bisa jadi berkeinginan untuk memisahkan agama dan negara untuk menjadi negara maju. Namun jangan lupa bahwa tanpa agama, negara akan mengalami kerusakan sistem. Sering kali orang terjebak dengan propaganda bahwa agama adalah candu, sehingga membuat negara tidak bisa berkembang. Mereka mengambil contoh negara-negara lain yang mereka yakini maju dengan memisahkan agama dan negara.

Saya kira tidak dengan negara tercinta kita Indonesia ini. Agama sudah tertanam luhur pada ideologi dasar negara kita yaitu Pancasila. Silakan kita kembali buka sejarah lahirnya Pancasila, tentu kita tidak bisa menafikan ada energi agama di sana. Okey lah kita cukupkan pembahasan kita tentang hal tersebut.

Sekarang mari kita bahas kembali isu atau problem tulisan ini. Ya, dalam benak kita, ketika muncul kata-kata "Gender", kita langsung menyimpulkan bahwa Gender adalah Perempuan. Namun sebenarnya hal tersebut tidak sepenuhnya benar, karena Gender adalah sekumpulan ciri atau karekteristik yang dapat digunakan untuk membedakan laki-laki atau perempuan. Coba liat kalau kita mengisi formulir dalam bahasa Inggris, tentu ada isian Gender untuk memberikan pilihan jenis kelamin laki-laki atau perempuan. Kita sepakati aja ya, ketika saya sebutkan Gender, silakan pembaca persepsikan sebagai perempuan (khusus artikel ini lo ya).

Mari kita mulai perjalanan gender dalam doktrin sejarah Indonesia saja, kerajaan Aceh dipimpin oleh seorang perempuan yaitu Sulthanah Shofiyatuddin. Sebenarnya saya pernah mengangkatnya adalah sebuah makalah saat perkuliahan S3 saya di UIN Antasari Banjarmasin, saat itu saya dapat tugas tentang mereview sebuah kitab yang berjudul Miratu ath-Thulab karya Abdurrauf as-Singkili, yang manuskripnya saja sulit ditemukan di dunia maya. Bahkan di UIN Antasari sendiri, hanya orang-orang yang kenal dekat dengan saya yang mendapatkan Salinan manuskrip tersebut.

Okey, kita lanjut ya. Saat itu sejarah membuktikan bahwa ada pemimpin perempuan di Kerajaan Aceh yang notabene sebagai serambi mekkah yang mendasarkan hukumnya kepada hukum Islam. Mungkin sebagian orang mempertanyakan bahwa bagaimana bisa terjadi pada kondisi masyarakat mayoriti Islam di Aceh ternyata memiliki pemimpin perempuan.

Kenyataannya bahwa ada ulama sekaliber Abdurrauf as-Singikili yang menurut saya tidak mungkin tidak mengerti tentang fikih kepemimpinan perempuan yang tersebar dalam khazanah turats. Bahkan lebih menariknya adalah, beliau menjadi penasihat kerajaan, dan kitab Miratut Thulab tersebut disusun atas permintaan Sultahanah tersebut guna dijadikan pedoman bagi para hakim di kerajaan tersebut. Memang tidak semulus yang kita bayangkan kepemimpinan Sultanah tersebut, ya mungkin juga saat kita memiliki pemimpin perempuan pasti ada kelompok yang pro dan kontra. Di masa itu juga, ada kelompok yang berusaha memberontak atas kepemimpinan Sulthonah tersebut.

Namun, jika diteliti dari kronologis terpilihnya Sulthonah tersebut, tidaklah dipilih oleh masyarakat Aceh, namun karena sistim kerajaan yang menghendaki demikian. Mungkin saja, andai ada pemilihan seperti demokrasi yang ada saat ini, peluang untuk terpilih menjadi khalifah tersebut sangatlah kecil atau bisa dibilang tidak ada peluang. Kemimpinan sulthanah inipun berlangsung sangat lama, yaitu 34 tahun.

Masa yang luar biasa, dan yang lebih luar biasa adalah kemimpinan 24 tahun setelahnya, dipimpin lagi oleh sulthonah yang lain. Totalnya selama 58 tahun Aceh dipimpin oleh perempuan. Selama itu pula, apakah tidak ada upaya ulama untuk menfatwakan tentang pelarangan memilih pemimpin perempuan? Contoh lagi, K.H. Hasyim Muzadi, seorang ulama bersedia dijadikan calon wakil presiden oleh Megawati saat bertarung dalam pemilihan umum 2004 melawan rivalnya SBY dan JK saat itu. Logika awam adalah, lha wong ulama sekaliber beliau saja tidak masalah dengan pemimpin perempuan, masa kita yang awam ini menolaknya.

Apabila logika ini dipakai, maka apa salahnya pimpinan negara ini adalah seorang perempuan, apalagi hanya sekedar pimpinan satuan kerja. Namun sebentar, jangan dulu mengambil konklusi dari mukadimah sughra yang baru saja saya sampaikan di atas. Tulisan ini tentu akan lebih memiliki makna ketika dibahas dari sisi yuridis normatif, doktrin dan sosiologi. Namun juga, pembahasan ini harusnya menjadi sebuah jurnal ilmiah atau paling tidak menjadi tema pilihan dalam sejarah kepemimpinan perempuan dalam Islam serta implikasinya dengan politik hukum di Indonesia.

Wah-wah...malah jadi melebar pembahasannya. Yo...kita focus kembali ke pembahasan awal. Persoalan selajutnya adalah isu-isu gender yang digaungkan oleh penggiat gender, hingga pada saatnya tidak sedikit yang menggugat kemapanan pembagian warisan bagi perempuan yang telah ditetapkan oleh nash yaitu 2:1 (laki-laki mendapat 2 bagian, dan perempuan mendapatkan 1 bagian dari harta warisan) digugat melalui karya ilmiah yang menghasilkan doctor-doktor di bidangnya. "Keberaniannya" menggugat nash dan menghasilkan kesimpulan bahwa pembagiannya menjadi 1:1. Ini juga kemungkinan besar mengilhami isu bolehkah seorang perempuan menjadi kepala KUA, bolehkah seorang perempuan menjadi ketua Pengadilan Agama, dan lain-lainnya di wilayah yang mayoritas Islam?

Ya.... Untuk kebolehan Pengadilan Agama dipimpin oleh perempuan, sudah terjawab oleh fakta. Di Wilayah Kalimantan Selatan dari 13 Pengadilan Agama dan 1 Pengadilan Tinggi, ada 6 Pengadilan Agama yang diketua oleh perempuan. Silakan anda cek web dari Pengadilan Agama Kotabaru, Pengadilan Agama Martapura, Pengadilan Agama Banjarbaru, Pengadilan Agama Negara, Pengadilan Agama Rantau, Pengadilan Agama Kandangan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun