Mohon tunggu...
Nadya A
Nadya A Mohon Tunggu... Freelancer - sedang bereksplorasi

Menulis topik sosial, politik, K-Pop, dan isu-isu digital.

Selanjutnya

Tutup

Film

Review Film The Platform, antara Kapitalisme dan Sosialisme, Siapa yang Terbaik?

27 Juni 2020   23:10 Diperbarui: 27 Juni 2020   23:32 878
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Film. Sumber ilustrasi: PEXELS/Martin Lopez

Akhir-akhir ini saya banyak merenung dan mengamati lewat berbagai berita yang muncul di beranda Twitter dan Instagram. Semenjak pandemik muncul, konsep-konsep di dunia sudah berubah. Bahkan Pemerintah kita juga berupaya mensosialisasikan 'New Normal' sebagai cara baru menjalani kehidupan. Akan banyak aturan yang berubah, maka yang menang adalah yang terus bangkit, belajar, serta beradaptasi.

Saya tergelitik atas fenomena ekonomi global yang melambat atau bahkan justru mulai collapse. Pandemik ini membuat banyak industri harus gulung tikar. Masyarakat kesulitan bekerja, perusahaan merugi, karyawan banyak dirumahkan, anak-anak terpaksa belajar di rumah. 

Kapitalisme yang dianggap menjadi ideologi yang mampu menggerakkan roda kehidupan, kenyataannya juga mulai melemah. Situasi ini memicu agar ekonomi merata. Pemerintah menggelontorkan banyak dana sosial untuk membantu si miskin, tapi sejauh apa?

--

Film The Platform bagi saya mampu menjelaskan bagaimana kapitalisme dan sosialisme bekerja lewat sistem penjara vertikal. Para tahanan hanya diberikan makan satu kali dalam 24 jam. Makanan akan dikirim lewat platform yang bergerak dari atas ke bawah.

Mereka boleh membawa satu barang ke dalam penjara. Kemudian setiap bulan akan diacak pada level tertentu. Bagi napi yang berada pada level atas, bisa mengambil makanan lebih banyak dan lebih baik. Semakin bawah, jumlah makanan akan semakin sedikit dan kondisinya semakin buruk. Bahkan kebanyakan napi di level paling bawah sudah kehabisan jatah makan. Napi juga tidak bisa menimbun makanan karena  suhu sel akan berubah menjadi sangat panas atau dingin.

Sistem pembagian makanan tersebut menggambarkan bagaimana kapitalisme bekerja. Orang-orang pada level atas memiliki akses-akses untuk bertahan hidup jauh lebih baik. Semakin ke bawah, maka hanya ada 'sisa-sisa makanan' yang bahkan kondisinya tidak layak. Pada level paling bawah dari strata sosial, kebanyakan justru harus menahan lapar dan berakhir dengan kematian.

Bagi saya, Goreng yang berperan sebagai karakter utama adalah refleksi diri yang kadang berkonflik dengan sisi egoisme dan alturisme. Apakah kita bisa tetap menjaga diri agar tidak serakah meskipun pada level bawah?

Terinspirasi dari Imougiri, Goreng berupaya mengubah sistem pembagian makanan. Ia bersama Baharat naik di atas elevator, berupaya untuk membagikan makanan seadil-adilnya. Untuk mendobrak sistem, Goreng dan Baharat harus bertarung dengan orang-orang yang membangkang. Terutama para napi di lantai atas yang masih dipenuhi egoisme.

Hal ini menggambarkan bahwa sosialisme sekalipun harus mengorbankan beberapa orang. Definisi pembagian 'adil' yang berbeda antara 'pemimpin' dan rakyat, membuat masyarakat masih menolak sistem baru.

The Platform memiliki open ending, sehingga penonton yang dapat menginterpretasikannya sendiri. Namun bagi saya, meskipun Goreng sampai di lantai paling bawah, pesan berbentuk 'panacotta' tersebut pada akhirnya tidak menjelaskan adanya perubahan kesadaran solidaritas. Tidak ada penjelasan apakah para penghuni lantai atas akan bertindak sesuai kesadaran untuk berbagi makanan. Satu hal lagi, film ini banyak berisi adegan gore, gross, dan bikin kaget. Jadi, siap-siap ya!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun