Mohon tunggu...
Nadya Rahmi
Nadya Rahmi Mohon Tunggu... -

mahasiswa Pascasarjana FIAI UII

Selanjutnya

Tutup

Money

Mewujudkan Kesejahteraan Masyarakat melalui Keadilan Distribusi

13 Januari 2018   20:58 Diperbarui: 13 Januari 2018   21:00 3204
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Perkembangan perekonomian sebuah negara tidak terlepas dari bagaimana proses konsumsi, produksi, dan pendistribusiannya. Ketiga aktifitas perekonomian ini harus dapat berjalan dengan seimbang.

Bila ada ketidakseimbangan dalam ketiga kegiatan ini maka akan ada dampak negatif terhadap negara dan kesejahteraan masyarakat didalamnya. Kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat tidak hanya terletak pada produksinya saja namun juga pada pendistribusiannya.

Salah satu ajaran dalam Islam adalah adanya tuntunan agar manusia berupaya menjalani hidup secara seimbang, memperhatikan kesejahteraan hidup di dunia dan keselamatan hidup di akhirat. Sebagai prasyarat kesejahteraan hidup di dunia adalah bagaimana sumber-sumber daya ekonomi dapat dimanfaatkan secara maksimal dan benar dalam kerangka Islam. Di sini al-Qur'an turut memberikan landasan bagi perekonomian umat manusia.[1]

Problematika yang terjadi di indonesia dan sampai sekarang sulit untuk diselesaikan adalah masalah pengentasan kemiskinan. Jika dilihat dari sumber daya alam Indonesia yang melimpah hal itu sangat disayangkan bahwa kondisi riil yang ada adalah masyarakat tidak dapat merasakan kenikmatannya. Kekayaan negara dapat diproduksi dengan jumlah besar namun jika pendistribusiannya tidak didasari dengan prinsip kebenaran dan keadilan maka ini akan menyebabkan banyak masyarakat yang menderita kemiskinan karena mereka tidak dapat menikmati kekayaan negaranya.

Dalam kamus besar bahasa Indonesia, keadilan merupakan kata sifat yang menunjukkan perbuatan, perlakuan adil, tidak berat sebelah, tidak berpihak, berpegan pada kebenaran, proporsional.[2] Sedangkan kata keadilan dalam bahasa Arab berasal dari kata "'adala", yang dalam Al-Qur'an terkadang disebutkan dalam bentuk perintah ataupun dalam bentuk kalimat berita. Kata adldi dalam Al-Qur'an memiliki aspek dan objek yang beragam, begitu puls pelakunya. Keragaman tersebut mengakibatkan keragaman makna 'adl(keadilan).

Dalam pandangan Islam adalah sesuatu yang sudah menjadi ketentuan bahwa setiap manusia memiliki kemampuan dan kecakapan yang berbeda-beda. Namun demikian perbedaan tersebut tidaklah dibenarkan menjadi sebuah alat untuk mengekspliotasi kelompok lain. Dalam hal ini kehadiran ekonomi Islam bertujuan membangun mekanisme distribusi kekayaan yang adil ditengah-tengah kehidupan masyarakat. 

Oleh karena itu, Islam sangat melarang praktek penimbunan dan monopoli sumber daya alam di sekolompok masyarakat. Konsep distribusi kekayaan yang ditawarkan oleh ekonomi Islam dalam hal ini antara lain dengan cara menciptakan keseimbangan ekonomi dalam masyarakat. Keseimbangan ekonomi hanya akan dapat terwujud manakala kekayaan tidak berputar di sekelompok masyarakat. Oleh karena itu, dalam rangka menciptakan keseimbangan ekonomi, Islam memerintahkan sirkulasi kekayaan haruslah merata tidak boleh hanya berputar di sekelompok kecil masyarakat saja.

Baik distribusi pendapatan maupun kekayaan sangat berpengaruh terhadap kesejahteraan masyarakat. Hal ini seiring dengan tujuan dasar Islam, yaitu ingin menyejahterakan pemeluknya di dunia dan akhirat. Dan ini akan bisa terealisasikan jikalau kebutuhan dasar (basic need) masyarakat bisa terpenuhi dengan baik. Sehingga tidak ada kesenjangan antar si kaya dan si miskin. 

Hal ini sesuai dengna prinsip maqashid syariah, yaitu merealisasikan kemaslahatan di antara masyarakat dengan cara menghilangkan segala hal yang membawa kepada kerusakan. Dengan terpenuhinya kebutuhan pokok setiap keluarga, maka akan bisa meminimalisasi segala macam kejahatan. Oleh karena itu, Islam berusaha keras untuk menegakkakan distribusi yang adil di antara masyarakat, karena Allah sangat mengecam peredaran harta yang hanya terkonsentrasi di segelintir orang saja, sebagaimana yang tertera dalam surah Al-Hasyr (59) : 7.

Islam sangat membolehkan umatnya untuk menjadi kaya, hal itu bisa dilihat dalam sebuah hadis bahwa "Kemiskinan akan mendekatkan seseorang ke dalam kekafiran." Bukti lainnya adalah dalam sebuah kitab yang berjudul al-ihtisab fii Rizq al-Mustahabdijelaskan tentang siapakah yang akan masuk surga terlebih dahulu, apakah orang miskin yang bersabar ataukah orang kaya yang bersyukur. 

Kenyataan yang ada, banyak ulama yang  setuju bahwa orang kaya yang bersyukur (dengan berbagai standarisasi bentuk syukur yang memang sangat berat dalam mempraktikannya), akan masuk surga terlebih dahulu. Dalam satu hadis juga disebutkan,"seseorang akan terputus amalannya kecuali tiga hal, sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak shaleh yang mendoakan kedua orang tuanya". Bagaimana mungkin seseorang bisa beramal jariyah ketika tidak mempunyai bekal harta, dan bagaimana pula seseorang bisa mendidik anak-anaknya menjadi generasi yang shaleh jika tidak mempunyai sarana untuk mewujudkannya.[3]

Terlepas dari perintah tersebut, Islam juga sangat tidak setuju dengan perilaku seseorang yang menimbun kekayaan. Menjadi kaya adalah wajib, kemudian kekayaan yang diperolehnya haruslah didistribusikan dengan baik melalui zakat, infak, sedekah, wakaf dan lain sebagainya. Dalam surah at-Taubah (9) ayat 34 disebutkan:[4] 

Artinya:"Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya sebahagian besar dari orang-orang alim Yahudi dan rahib-rahib Nasrani benar-benar memakan harta orang dengan jalan batil dan mereka menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah. dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, Maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih."

Peran pemerintah atau negara juga sangat diperlukan dalam memastikan kelancaran distribusi dalam merealisasikan kesejahteraan dan keadilan. Negara tidak boleh menjalankan otoritasnya secara semena-mena, tetapi justru negara harus menggunakan kekuasaannya untuk memungkinkan pasar berfungsi dengan baik dan menciptakan suatu lingkungan yang tepat bagi realisasi pembangunan dan keadilan. 

Negara hendaknya menjadi lembaga yang berorientasi kepada kesejahteraan, moderat dalam berbelanja, menghormati hak milik orang lain dan menghindari perpajakan yang membebani.

Dalam  keadilan  distribusi  pendapatan  menurut  sistem  ekonomi  Islam,  pemerintah mempunyai Posisi yang sangat penting dalam menciptakan keadilan distribusi. Dan berperan secara  aktif  dalam  sistem  distribusi  ekonomi  di  mekanisme  pasar  Islam  yang  bukan  hanya bersifat  temporer  dan  minor.  

Peran  pemerintah  dalam  mekanisme  ekonomi,  yang  secara garis  besar dapat diklasifikasikan  menjadi tiga  yaitu,  pertama  peran  yang  berkaitan dengan implementasi  dan  moral  islam,  kedua  peran  yang  berkaitan  dengan  teknis  operasional mekanisme  pasar,  ketiga  peran  yang  berkaitan  dengan  kegagalan  pasar.  Ketiga  peran  ini diharapkan  dapat  mengatasi  berbagai  persoalan  ekonomi  karena  posisi  pemerintah  tidak hanya sekedar perangkat ekonomi, tetapi juga memiliki fungsi religius dan sosial.

Sistem ekonomi Islam mewajibkan peran pemerintah dan masyarakat sebagai institusi distribusi dalam mewujudkan keadilan distribusi, karena menciptakan kesejahteraan merupakan kewajiban seluruh agen ekonomi sebagai konsekuensi dari tugasnya sebagai khalifah Allah di muka bumi. Untuk menciptakan kesejahteraan tersebut instrumen distribusi yang ditawarkan sistem ekonomi Islam berupa zakat, infak, wakaf, waris dan sedekah. Jika kelima instrumen distribusi tersebut dapat diaplikasikan dan bergerak secara bersama-sama, diharapkan akan membentuk jaminan sosial yang akan menciptakan kesejahteraan di masyarakat.

[1] Anita Rahmawaty, "Distribusi Dalam Ekonomi Islam", Equilibrium, No. 1, tahun 2013, hlm. 2.

[2] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, cet. Ke-3 , Jakarta : Balai Pustaka, 1990, hlm. 6-7.

[3] Ibid, hlm. 141.

[4] Departemen Agama RI, Al-Qur'an dan Terjemahnya (Bandung: CV. Media Fitrah Rabbani, 2011), hlm. 192.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun