Mohon tunggu...
Nadya Rahmi
Nadya Rahmi Mohon Tunggu... -

mahasiswa Pascasarjana FIAI UII

Selanjutnya

Tutup

Money

Bank Syariah, Manfaat atau "Mafsadat"?

13 Januari 2018   14:54 Diperbarui: 13 Januari 2018   15:42 1042
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Dulu ketika krisis menghantam, bank-bank konvensional dihantui virus negative spread. Kredit macet (NPL) meroket. Banyak yang kolaps. Pemerintah dipaksa menjadi 'dewa penolong' dengan melakukan rekapitalisasi. Tak kurang dari Rp 650 triliun dana rakyat digerojokkan untuk misi penyelamatan. Tak hanya itu, melalui BPPN (badan penyehatan perbankan nasional), pemerintah juga menghapusbukukan kredit bermasalah mereka. 

Apakah perekonomian menjadi sehat ketika bank-bank itu secara akuntansi menjadi bersih? Alih-alih menjadi penyelamat perekonomian, bank-bank itu seolah tak berhenti membebani pundak pemerintah. Mereka lebih suka 'memarkir' dana deposan di SBI (Sertifikat Bank Indonesia). Ini berarti lagi-lagi membuat beban nasional, karena pemerintah melalui BI harus membayar bunga SBI yang tinggi.(A. Riawan Amin, 2016:1)

Jika dilihat dari aspek kekuatan (strengths), yang paling penting dicatat adalah bank syariah telah membuktikan diri sebagai industri yang unggul. 

Di antaranya perbankan syariah menawarkan lebih banyak ragam produk dibandingkan dengan ragam produk perbankan konvensional dan makin lama makin banyak pula ragamnya sebagai hasil inovasi keuangan bank-bank syariah, bank syaraiah tidak hanya melayani para nasabahnya yang beragama Islam tetapi juga yang beragama non-Islam. 

Di samping itu bank syariah berpotensi menggerakkan sektor riil karena FDR-nya (financing to deposit ratio) yang mendekati 100 persen, yang berarti dana yang terhimpun dari masyarakat diputar sepenuhnya untuk kepentingan masyarakat.

Bank syariah tidak memperoleh keuntungan dengan membebankan bunga kepada nasabah. Bank syariah memperoleh keuntungan dari membebankan mark-up atau margin atas barang yang dijual oleh bank kepada nasabahnya dalam transaksi jual-beli antara bank dan nasabah, misalnya dalam transaksi murabahah  atau salam. 

Juga seperti dalam transaksi musyarakah(kerjasama/kemitraan). Mark-up atau margin adalah penambahan harga di atas harga beli bank dari pemasok. Selain dari mark-upatau margin, bank memperoleh keuntungan dari pembebanan feekepada nasabah atas jasa yang diberikan bank kepada nasabah. (Sutan Remy Sjahdeini, 2014:137)

Selain aspek keunggulan dan peluang, faktor-faktor yang melemahkan bank syariah juga banyak. Dari sisi kelemahan ini yang terutama adalah absennya visi bersama dalam mengembangkan perbankan syariah dan kurangnya keberpihakan stakeholder.

Kinerja dan potensi bank syariah itu sesungguhnya sangat besar, apalagi jika dilihat dari populasi Muslim terbesar di dunia. Hal tersebut seharusnya cukup membuka mata pemerintah untuk menjadikan perbankan syariah sebagai industri pilihan. Sudah selayaknya pemerintah dan seluruh stakeholder terkait lebih berpihak dan mendorong sehingga manfaat industri ini semakin besar. 

Dalam industri keuangan syariah saat ini, peran pemerintah baru terasa pada bidang hukum dengan menerbitkan UU Perbankan Syariah dan UU Surat Berharga Syariah Negara. Juga mengizinkan beberapa bank BUMN mendirikan Unit Usaha Syariah (UUS)  atau Bank Umum Syariah sebagai anak perusahaan bank Bumn tersebut. 

Diharapkan kedepannya pemerintah dapat mendorong pertumbuhan sistem keuangan dan perbankan syariah dengan langkah nyata, juga memberi perlakuan yang sama antara bank syariah dan bank konvensional.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun